Assalamu'alaikum

header ads

Seorang Menteri Yang Ilmunya Setara Ilmu Ulama - Bag 1

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, Rabb yang senantiasa menunjuki hamba-hambaNya jalan kebenaran dan memudahkannya bagi siapa saja yang dikehendakiNya.
 
Shalawat dan salam teruntuk junjungan kita, Nabi Muhammad, yang telah berjuang menyampaikan risalah beliau kepada umatnya. Dan tidaklah beliau wafat melainkan beliau telah menunaikan amanah yang diemban sehingga ajaran beliau telah mencapai titik kesempurnaannya.

Pembaca Alukatsir Blog yang dimuliakan Allah, tidak dapat dipungkiri bahwa di setiap masa dan tempat ada segelintir hamba Allah yang mengungguli kebanyakan hambaNya yang lain. Keunggulan tersebut menuai pujian dan menebar aroma harum sepeninggal mereka. Tentunya, kelebihan yang dimiliki disebabkan kebaikan, ilmu, dan ibadah yang mereka usahakan semasa hidup.
foto via hdwallsource.com

Dan diantara hamba-hamba Allah yang memiliki kisah yang menggugah hati setiap orang yang mendengarnya atau membacanya, adalah seorang yang dikenal luas di kemudian hari dengan sebutan Sang Menteri Ibnu Hubairah.

Maka pada artikel kali ini saya akan paparkan sepenggal kisah hidup sang menteri ini, agar kita semua dapat mengambil pelajaran dari kisah hidup beliau yang luar biasa.

***

Masa Kecil Ibnu Hubairah

Beliau bernama Yahya bin Muhammad bin Hubairah Al-Hambali, Abul Mudzaffar.

Beliau dilahirkan pada tahun 499 H di daerah yang bernama Bani Auqar, salah satu daerah Iraq dahulu.

Ibnu Hubairah yang masih belia kemudian menimba ilmu di pusat peradaban negeri Iraq, yaitu kota Baghdad. Dengan semangat yang dimiliki, beliau rajin menghadiri majelis-majelis ulama dan fuqaha (ahli fikih) kala itu. Semisal Abul Husain Ibnul Qadhi Abu Ya'la, beliau sempat berguru kepadanya.

Beliau pun rajin menyimak majelis-majelis dimana hadits-hadits Nabi dilantunkan dan diterangkan kandungan maknanya. Tidak lupa beliau mempelajari ilmu qiraat sehingga beliau menguasai bacaan qiraah sab'ah. Begitu pula ilmu-ilmu Islam lainnya, beliau tidak melewatkannya.

Semasa memperdalam ilmu agama di kota ini, beliau tidak melupakan ilmu bahasa dan sastra arab. Beliau mempelajari sastra dari para sastrawan kenamaan zaman itu. Makanya beliau begitu mahir dalam bahasa arab dan sastranya.

Diantara syair-syair beliau:

Bepegang teguhlah kepada ketakwaan karena seseorang itu tidak akan hidup terus-menerus.

Jangan sekalipun Engkau dzalim dan merampas apa yang menjadi hak orang lain.

Karena segala bentuk amal kebaikan akan terkumpul sedang segala perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang maka ia akan menerima (balasannya).

Jangan pernah berdusta dan jangan pula hasad kepada orang, karena jika seseorang terbiasa dengannya maka akan menjadi kebiasaannya.

Beliau rahimahullah juga pernah berkata tentang keutamaan menjaga waktu:

Waktu adalah hal paling berharga yang harus kau jaga.

Karena aku memandang itu adalah hal yang mudah hilang dari dirimu.

Beliau bukanlah berasal dari keluarga yang berada, apalagi kaya. Disebutkan bahwa ayah beliau hanyalah seorang prajurit berpangkat rendah. Sehingga tidak jarang beliau menjalani satu hari penuh dalam keadaan perut kosong.

Namun kekurangan dan keterbatasan tersebut tidak menghalangi seorang Ibnu Hubairah yang mulai beranjak dewasa untuk meniti jalan yang mulia, yaitu jalan ilmu agama Allah. Jalan yang telah dilewati oleh generasi emas umat ini, generasi terbaik yang pernah ada. 

Sebut saja sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang tetap bersabar dengan keterbatasan harta namun tetap teguh untuk bermulazamah dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di masjid Nabi hingga dikenal sebagai sahabat yang paling banyak periwayatan haditsnya.

Keilmuan yang dimiliki oleh Ibnu Hubairah semakin luas, pemahamannya pun semakin meningkat tajam sehingga diberi gelar oleh orang-orang dengan sebutan Jalaluddin.


***

Masjid Yang Tidak Terurus dan Harta di Dalamnya

Ibnul Jauzy (wafat 597 H) rahimahullah, salah seorang murid Ibnu Hubairah yang sempat menimba ilmu dari beliau membawakan sebuah peristiwa yang dialami oleh gurunya sebelum diangkat sebagai menteri kekhalifahan.

Beliau bercerita bahwa Ibnu Hubairah mengisahkan langsung kejadian itu kepadanya:

Dahulu aku sempat tidak punya makanan di rumah selama beberapa hari. Kemudian keluargaku memintaku untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan di luar sana. Akupun melangkahkan kaki keluar rumah hingga tanpa terasa tiba di pinggiran kota.

Di situ ada sebuah masjid yang tidak terurus dan tampaknya tidak terpakai. Akupun masuk ke dalamnya untuk shalat 2 raka'at. Ketika memasukinya, ternyata ada orang yang tengah tergeletak sakit tidak berdaya di lantai masjid tersebut.

Aku menghampiri orang itu dan duduk di samping kepalanya. Ku tanyakan kepadanya: "adakah yang bisa ku lakukan untukmu? Orang tersebut mengutarakan bahwa ia ingin makan buah-buahan.

Tanpa uang sepeser pun, aku bergegas pergi menyanggupi keinginan orang yang tengah sakit keras tersebut. Aku mencari orang yang menjual buah-buahan di sekitar tempat tersebut.

Setelah menemukan warung terdekat yang menjual buah-buahan, aku mendekati penjualnya dan mengutarakan maksudku untuk membeli 3 biji buah dengan jaminan sarungku.

Penjual yang baik itu mengiyakan keinginanku tersebut. Aku pun bergegas pergi menuju orang yang sakit tadi dengan membawa 3 biji buah-buahan.

Aku sodorkan buah yang diinginkannya. Setelah menggigitnya satu dua kali, orang tersebut memintaku kembali agar menutup pintu masjid. Aku memenuhinya tanpa bertanya alasannya.

Selepas pintu ditutup, ia berusaha dengan sisa tenaga yang ada untuk bergeser dari tempatnya terbaring. Kemudian memintaku untuk menggali lantai masjid yang tadi dia terbaring lemas di atasnya.

Tolong, galilah lantai ini! pintanya kepadaku.

Aku mulai menggali dan mendapati ada satu cawan penuh berisi sejumlah uang. Ia memintaku untuk mengambil itu semua dan memberikannya untukku.

Ambillah harta ini karena engkau adalah orang yang paling berhak atasnya! perintah orang tadi.

Aku menanyainya: "apakah tidak ada seorang pun ahli warismu?"

Dia menjawab: "tidak ada. Dahulu ada saudaraku tetapi aku tidak tahu lagi kabar dan keberadaannya hingga aku mendengar kabar bahwa ia telah meninggal. Kami berasal dari daerah Rashafah."

Dia belum selesai menceritakan asal-usulnya namun ajal sudah menjemputnya. Aku pun memandikan jenazah orang tadi, mengafaninya, dan menguburkannya.

Kemudian aku membawa satu cawan yang berisi 500 dinar sesuai pesan orang tersebut. Aku menuju sisi sungai Dijlah untuk menyeberang ke sisi satunya.

Sesaat setelah aku tiba di sisi sungai itu, tetiba ada seorang nelayan berpakaian lusuh yang berteriak ke arahku agar aku naik ke perahunya saja. Aku mendatanginya dan naik ke perahu tuanya.

Aku perhatikan wajah nelayan tadi dan ku dapati adanya kemiripan dengan orang yang kukuburkan barusan.

"Darimana anda berasal?" tanyaku penasaran kepada orang tersebut.

Dia menjawab: "kami berasal dari daerah Rashafah. Aku memiliki beberapa orang anak perempuan sedang diriku fakir."

Aku kembali bertanya: "apakah anda tidak memiliki saudara sama sekali?"

"Ada. Dahulu ada saudara lelakiku tetapi aku sudah lama tidak tahu kabarnya dan aku juga tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang", jawab orang ini.

Setelah cukup yakin bahwa nelayan miskin ini adalah saudara lelaki dari orang yang ku temui di masjid beberapa saat lalu, aku memberikannya satu cawan penuh berisi uang senilai 500 dinar.

Orang tersebut hanya terdiam melihat setumpuk uang dinar yang ku hamparkan di depannya. Aku pun menceritakan kejadian yang terjadi dengan saudaranya.

Setelah itu ia memintaku untuk mengambil separuh dari uang tadi namun aku menolak sambil menegaskan kepadanya bahwa sepeserpun aku tidak ingin mengambilnya darinya.
Nelayan tersebut mengantarkanku ke sisi seberang sungai Dijlah dan kami pun berpisah.

bersambung...