Assalamu'alaikum

header ads

Menolak Hadiah, Antara Boleh dan Tidak

Bismillah. Alhamdulillah. Was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, wa 'ala Alihi wa Shahbihi ajma'in.

Pembaca Alukatsir Blog yang dikasihi Allah, di kesempatan kali ini kita akan mengupas sebuah hadits yang agung dari Nabi shallallahu álaihi wa sallam. Sebuah hadits yang menerangkan bagaimana seorang muslim hendaknya bersikap menyikapi sebuah pemberian dari orang lain. Hadits yang melarang untuk menolak pemberian yang ditawarkan kepadanya.

Yaitu hadits dari periwayatan seorang sahabat Nabi yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ánhu. Tetapi sebelum kita memasuki penjelasan hadits tersebut, ada 2 hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu:

Pertama:
Setiap pribadi muslim tidak diperbolehkan untuk meminta-minta kepada orang lain sedang ia masih dalam kondisi tidak mengharuskannya untuk meminta-minta. Perbuatan ini amat sangat tercela karena agama Islam melarang hal yang demikian, bahkan juga mengancam pelakunya dengan ancaman yang berat.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits Nabi yang berbunyi:

"من سأل الناس أموالهم تكثّرا، فإنما يسأل جمر جهنّم، فليستقلّ منه أو ليكثر"

Barangsiapa meminta-minta harta orang lain untuk memperbanyak hartanya sendiri maka sesungguhnya (harta) yang ia pinta itu (hakikatnya) adalah bara api jahannam; silahkan ia menguranginya atau justru menambahnya. [HR. Muslim (no. 1041), Ibnu Majah (no. 1838), dan Ahmad (no. 7163), serta dihukumi sebagai hadits shahih oleh Syaikh Albani]

Diterangkan tentang hadits itu bahwa maksud meminta harta orang lain adalah dengan mengemis-ngemis agar diberi atau memintanya secara berlebihan. Begitu pula maksud dari penggalan hadits "silahkan ia menguranginya atau justru menambahnya", itu adalah bentuk larangan, bukan pembolehan dan pilihan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam tahqiq dan syarh beliau untuk kitab Sunan Ibnu Majah (1/589).

Dengan redaksi hadits yang sedikit berbeda dengan yang dibawakan oleh Imam Ibnu Majah, Imam Thabary menukilkan hadits tersebut dari jalur Sahl bin Handzaliyah di kitab beliau Tahdzibul Atsar (1/ 427), yang bunyinya:


"من سأل الناس عن ظهر غنى فإنما يستكثر من جمر جهنم"، قلتُ: يا رسول الله، وما ظهر غنى؟ قال: "أن يعلم أنّ عند أهله ما يغدّيهم أو ما يعشّيهم"

"Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain sedangkan ia dalam keadaan berkecukupan, maka sesungguhnya ia justru sedang mengumpulkan bara neraka jahannam"

Aku (Sahl bin Handzaliyah) pun bertanya: Wahai Rasulullah, apa itu berkecukupan?

Beliau menjawab: "Orang (yang meminta-minta) itu mengetahui bahwa ada makanan yang bisa disantap keluarganya untuk siang dan malam harinya".

Adapun Imam Darimy di dalam musnadnya (2/ 1025), beliau menukil hadits tersebut dengan jalur periwayatan pembantu Nabi, Tsauban radhiyallahu ánhu, yang isinya hampir sama namun dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu:

"من سأل الناس مسألة وهو عنها غني كانتْ شينا في وجهه"

Siapa saja yang meminta-minta kepada orang lain sedang ia sebenarnya tidak membutuhkannya, maka di wajahnya ada keburukan.
 
Di hadits lain juga diterangkan hal yang hampir senada, namun dengan ancaman yang berbeda. Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi sebagai berikut:


"من سأل الناس في غير فاقة نزلتْ به، أو عيال لا يطيقهم جاء يوم القيامة بوجه ليس عليه لحم"

Siapa saja yang tetap meminta-minta kepada orang lain sedang (ia) dalam kondisi tidak mengalami kekurangan harta ataupun tanggungan keluarga yang ia tidak sanggup (menanggungnya), maka ia akan datang di hari kiamat kelak dengan wajah yang tidak berdaging. [HR. Thabary di kitab Tahdzibul Atsar (1/ 27)]

Jadi, meminta-minta sangat dicela dan dilarang dalam agama berdasarkan 2 hadits diatas. Lebih-lebih jika si peminta tadi dalam kondisi berkecukupan, maka larangan dan ancamannya pun semakin keras. Jika kita masih sanggup menjalani hari-hari kita dengan usaha dan tawakkal kita tanpa meminta uang atau barang kepada orang lain, maka hendaklah kita pertahankan hal tersebut.

Makanya para ulama sering menekankan bahasan seputar menahan diri dari meminta-minta. Diantaranya adalah Imam Baihaqy rahimahullah di dalam kitab beliau, Syuábul Iman (5/ 162), beliau meletakkan satu bab khusus seputar permasalahan ini kemudian menukilkan sejumlah hadits yang melarang perbuatan ini.

Demikian pula yang dilakukan ulama yang lain semisal Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzy, Ahmad, Thabary, Darimy, dan yang lainnya rahimahumullah di dalam kitab-kitab mereka untuk mengingatkan masalah ini.

Kedua:
Rezeki kita tidak berada di tangan orang lain. Di tangan Allah Sang Pencipta dan Pengatur semesta lah rezeki kita berada. Janganlah kita mengira atau bahkan meyakini bahwa banyak sedikit rezeki kita itu tergantung dengan seseorang, tempat, waktu, dan lain sebagainya. Percayalah! Jika memang itu rezeki kita maka ia akan datang kepada kita walau tempat atau waktu tidak 'menguntungkan' menurut kita.


Keyakinan seperti inilah yang akan menopang seseorang agar tidak meminta-minta kepada manusia, hanya meminta kepada Allah Ta'ala selaku Pemiliki segala kekayaan langit dan bumi. Makanya Allah mengikat erat keimanan dengan tawakkal sebagaimana kalamNya yang berbunyi:

"وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ"

Dan hanya kepada Allah saja lah, seharusnya orang-orang yang beriman itu bertawakkal. [QS. Al-Maidah: 11]

Artinya orang yang beriman itu sudah seharusnya ketergantungannya hanya kepada Allah semata, bukan kepada makhluk. Itu sebagai bentuk konsekuensi dari keimanan yang ia ikrarkan.

Pernahkah Anda menyimak bahwa Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam pernah mengatakan sebuah hadits yang berbunyi:

"يدخل الجنّة أقوام أفئدتهم مثل أفئدة الطّير"
Orang-orang yang mempunyai hati seperti hati burung (akan mendapat keutamaan, Pen) dengan memasuki surga. [HR. Muslim no (2840)]

Mereka yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan memasuki surga yang berisi kenikmatan adalah orang-orang yang memiliki hati seperti hati burung. Maksudnya ketergantungan hati dan tawakkal diri mereka kepada Allah Ta'ala persis seperti kuatnya ketergantungan burung kepada Pencipta dalam urusan rezeki. Tidak takut sama sekali.

Begitulah seekor burung, ia keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan lapar, ia beranjak keluar dan tidak menunggu rezeki datang kepadanya. Ia tetap berusaha dengan penuh keyakinan kepada Sang Pemberi rezeki tanpa mengkhawatirkan hasilnya nanti; apa yang akan diperoleh, banyak atau sedikit, itu tidak dikhawatirkannya selama ia tetap berusaha dan mencari.

Makanya Rasulullah menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki hati seperti ini akan meraih keutamaan nantinya di akhirat berupa surga dan segala isi kenikmatan abadi di dalamnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berpesan perihal hal yang demikian ini (baca: tawakkal dan menggantungkan harapan kepada Allah saja):

"لو أنكم تتوكلون على الله حق توكله، لرزقكم كما يرزق الطير يغضو خماصا ويروح بطانا"
Jika kalian memang betul-betul bertawakkal kepada Allah maka sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi seekor burung rezeki yang mencari makan di pagi hari dengan perut kosong kemudian kembali pulang dengan perut sudah terisi penuh (makanan). [HR. Tirmidzi no (2344) dan Ibnu Majah no (4164)]
***
Setelah memahami dua poin diatas, saya akan memaparkan kepada para pembaca Alukatsir Blog satu hadits yang berisi larangan untuk menolak sebuah pemberian. Hadits ini berbunyi:
"من جاءه من أخيه معروف من غير سؤال، ولا إشراف نفس فليقبله فإنما هو رزق ساقه الله إليه"

Siapa saja diberi sesuatu oleh saudaranya tanpa ia pinta maupun harapkan maka hendaklah ia menerimanya. Karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah datangkan untuknya. [HR. Ahmad no (24009)]

Artinya pemberian tersebut tidak boleh ditolak. Ketika seseorang tidak meminta sesuatu dari temannya ataupun terbetik di hatinya untuk menginginkan hal itu kemudian tiba-tiba temannya memberikannya maka ia tidak boleh menolak pemberian tersebut, karena itu adalah rezeki dari Allah Ta'ala untuknya. Ya. Allah berikan rezeki kepadanya tanpa ia pinta, jadi jangan ia tolak rezeki tersebut.

Perlu diingat dalam hal ini bahwa Allah lah yang menggerakkan hati seseorang untuk memberi atau menghadiahkan sesuatu kepada orang lain. Dan perintah untuk menerima hadiah pemberian orang lain kepada kita dari lafadz hadits ini bersifat wajib selama kita tidak mendapati hal-hal yang dilarang agama pada pemberian tersebut. Tetapi, perintah itu juga bisa dipahami sebagai anjuran saja, tidak sampai kepada wajib. [Lihat: At-Tanwir Syarhul Jami'is Shaghir karya Ash-Shan'ani (10/8)]

Diceritakan bahwa salah seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Umar bin Khattab, radhiyallahu anhuma, beliau berusaha sebisa mungkin untuk tidak meminta apapun kepada orang lain dan jika diberi tanpa beliau pinta maka beliau tidak pernah menolak pemberian tersebut karena mengetahui hadits ini. [Lihat: Al-Istidzkar karya Ibnu Abdil Barr (8/607)]

Demikian pula Abdullah bin Amru radhiyallahu anhuma, beliau membawakan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang senada dengan hadits Abu Hurairah diatas:

"الهدية رزق من رزق الله، فمن أهدي له شيئ فليقبله ولا يردّه وليكافئ عليه"

Hadiah adalah rezeki dari Allah. Barangsiapa diberi hadiah maka hendaklah dia menerimanya, tidak menolaknya, dan hendaklah dia berusaha untuk membalasnya.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa pendapat yang banyak dipakai oleh sebagian besar ulama berkenaan dengan bahasan ini adalah pendapat yang menilai perintah dari hadits Abu Hurairah untuk anjuran, bukan keharusan. Dan ini juga yang dipilih oleh Imam Nawawi rahimahullah. [Nailul Authar karya Asy-Syaukani (4/194)] 

Meskipun perintah itu dipahami sebagai anjuran untuk menerima hadiah selama tidak ada hal yang rancu maupun haram dari hadiah yang diberikan kepada kita, namun anjuran ini sangat ditekankan dan dianjurkan atas kita.

Alasan dibalik itu (baca: tidak menolak hadiah): karena memberi hadiah kepada orang lain adalah bentuk kedermawanan si pemberi dan kebaikan hatinya atau upayanya untuk itu. Oleh karena itu, jika pemberiannya ditolak maka bisa jadi ada kekecewaan atau bahkan kemarahan di hati si pemberi tadi. Dan tidak dipungkiri, dengan menerima hadiahnya kita menyenangkan hati si pemberi dan mengesankan kepadanya bahwa kebaikannya telah sampai kepada kita. [Lihat: Silsilatul Adab karya Al-Munajjid (12/5)]
***

Catatan Alukatsir Blog:

1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang berisi perintah menerima hadiah adalah hadits yang shahih sebagaimana dishahihkan oleh sebagian ulama dan pakar hadits. Dan ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai arah perintah ini, apakah dibawa kepada keharusan ataukah sebatas anjuran. Dan pendapat jumhur mengatakan bahwa itu   sebatas anjuran. Meski perintah disini bersifat anjuran namun ia sangat ditekankan sekali.

2. Meminta-minta kepada orang lain adalah haram. Inilah hukum asal dari meminta-minta sebagaimana tertera dalam hadits-hadits yang melarang seorang muslim untuk melakukan hal tersebut. Kecuali jika memang kondisi seseorang memang memaksanya untuk itu karena kafakirannya atau karena kebutuhannya waktu itu; yang demikian ini diperbolehkan.

3. Alasan dibalik larangan meminta-minta kepada orang lain dalam kondisi tidak mendesak adalah karena disitu ada bentuk menghinakan diri kepada manusia dan juga tidak lepas dari mengganggu orang yang dimintai uang.

4. Yang dipahami dari kontek hadits-hadits yang berisi perintah untuk tidak menolak hadiah adalah hadiah berupa uang. Namun hal itu dapat dibawa pula kepada selainnya seperti makanan, pakaian, dan lain sebagainya.

5. Perlu diperhatikan disini: sebuah hadiah selama tidak berkaitan dengan hal yang berbau syubhat atau haram seperti minuman keras atau larangan agama seperti larangan memberi hadiah kepada pegawai atau pekerja yang sudah mendapat gaji, terlebih tanpa diminta atau diharapkan, maka hukumnya sangat dianjurkan untuk diterima dan tidak ditolak sekira tidak membuat kecewa orang yang memberikannya.

Jadi, jika ada yang memberi hadiah kepada Anda maka usahakan untuk tidak menolaknya selama hadiah tersebut memang murni dari kedermawanan si pemberi dan tidak ada unsur larangan agama disitu maupun tujuan tertentu. Selamat berbagi hadiah dan menerimanya.
  
 Demikian bahasan kali ini. Semoga bermanfaat untuk saya pribadi dan segenap Pembaca Alukatsir Blog.

Disusun oleh Syadam Husein Al-Katiri
Mataram, 2 Agustus 2017

Posting Komentar

0 Komentar