Assalamu'alaikum

header ads

Sesi 4 Kaidah Kedua Syubhat Yang Bergelayut

Memahami Kaidah Kedua dalam Kitab Al-Qawa'id Al-Arba'

Disusun oleh Dr. Syadam Husein Alkatiri -waffaqahullah wa ghafaralah-


Pembaca Alukatsir.com yang dirahmati Allah, kita masih membahas kitab Al-Qawa'id Al-Arba' (Empat Kaidah) dalam memahami hakikat tauhid dan hakikat syirik.


Kali ini kita akan memasuki kaidah kedua yang dipaparkan oleh penulis, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi rahimahullahu ta’ala.


Pada kaidah pertama, beliau menjelaskan bahwa orang-orang kafir Quraisy, tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, ternyata mengakui bahwa yang menciptakan dan menguasai alam semesta ini adalah Allah. Namun, pengakuan ini saja belum cukup untuk menjadikan mereka bagian dari umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mencapai batas aman keimanan minimal.


Hal ini terbukti dari pertikaian dan permusuhan yang terjadi antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang musyrikin selama belasan, bahkan hampir 20 tahun. Mereka tidak mengakui keesaan Allah untuk diibadahi, meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan seterusnya.


Bahkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, Nabi pernah memanggil dan berdialog dengan seorang Quraisy bernama Husain yang saat itu belum beriman.


Dialog Yang Menyentuh Fitrah Manusia


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya berdialog dan membuat pendekatan melalui nalar dan hati nurani. Beliau membuka dialog tersebut dengan pertanyaan:


”يا حصين، كم تعبد إلهًا؟"

"Wahai Husain, berapa Tuhan yang engkau sembah?"

Husain menjawab dengan bangga, "Ada tujuh."


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, "Tujuh itu bagaimana?" Dia menjawab, "Satu ada di langit, dan enam lainnya ada di bumi."


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, ”من تعبد لرغبتك ورهبتك؟"

"Di antara tujuh ini, mana yang paling engkau agungkan, paling engkau harapkan, dan paling engkau takuti?"


Dengan naluri fitrahnya, Husain menjawab, "Tentu saja yang ada di langit."


Akhirnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya untuk mengesakan Tuhan yang di langit dan meninggalkan enam tuhan yang ada di bumi. Husain pun masuk Islam, dan anaknya, Imran, terkenal sebagai salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak meriwayatkan hadis.


Ini adalah cuplikan dari kaidah pertama yang menghubungkan bahasan sebelumnya dengan bahasan kita malam ini.


Kaidah Kedua: Syubhat Yang Bergelayut Di Kepala


Mari kita bacakan kaidah kedua:

"Mereka (orang-orang musyrikin Quraisy) berkata, 'Kami tidak memohon kepada mereka (tuhan-tuhan selain Allah) dan tidak pula berpaling kepada mereka kecuali hanya untuk mendekatkan diri kami kepada Allah dan untuk mendapatkan syafaat mereka.'"


Dalil-dalil Kaidah Kedua


Dalil perkataan mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah firman Allah:


وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), 'Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.' Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan orang-orang yang sangat ingkar.”

(QS. Az-Zumar: 3)


Kemudian, penulis membawakan dalil kedua, yaitu tujuan mereka mendekati sesembahan-sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan malaikat, nabi, atau orang saleh, adalah untuk mencari syafaat mereka di sisi Allah.


Allah berfirman:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) mendatangkan kemanfaatan kepada mereka dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.' Katakanlah, 'Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak (pula) di bumi?' Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan itu.”

(QS. Yunus: 18)


Dua Jenis Syafaat: Dilarang dan Dibenarkan


Penulis kemudian menyinggung masalah syafaat, menjelaskan bahwa syafaat ada dua macam: syafaat yang dilarang dan syafaat yang dibenarkan.


1. Syafaat yang Dilarang

Adapun syafaat yang dilarang adalah syafaat yang diminta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala terkait hal yang hanya Allah saja yang mampu melakukannya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari (Kiamat) yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.”

(QS. Al-Baqarah: 254)


Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari Kiamat, syafaat tidak akan berlaku kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.


2. Syafaat yang Dibenarkan

Ada pula syafaat yang diperintahkan dan ditetapkan bahwa syafaat itu memang ada dan berlaku nanti. Jenis syafaat ini diawali dengan permintaan kepada Allah. Allah juga mengizinkan orang yang diberi syafaat untuk menyalurkan syafaatnya, serta meridai orang yang menerima syafaat tersebut. Ini tentunya berlaku dengan izin Allah terlebih dahulu, baik di awal maupun di akhir. Hal ini dibawakan dengan dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”

(QS. Al-Baqarah: 255)



Penjelasan Kaidah Kedua


Pembaca Alukatsir.com yang dikasihi Allah, kaidah kedua ini ingin mengungkap rahasia mengapa orang-orang Quraisy, meskipun meyakini rububiyah Allah, tetap menduakan-Nya dan berbuat kemusyrikan. Ternyata, ada dua alasan di balik keengganan mereka meninggalkan tuhan-tuhan seperti Lata, Uzza, Manat, Hubal, dan berhala-berhala lainnya:


 * Mencari Perantara (Wasitah): Mereka ingin mendapatkan perantara yang mampu mendekatkan mereka kepada Allah dan membawa mereka masuk surga. Mereka beranggapan bahwa meminta langsung kepada Allah tidak pantas bagi diri mereka yang banyak dosa, sehingga mereka membutuhkan mediator yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyampaikan permohonan mereka. Inilah pintu kesyirikan yang banyak menjerumuskan orang, yaitu anggapan bahwa doa tidak bisa sampai kepada Allah kecuali melalui mediator.


Allah berfirman:


   وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), 'Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.'” (QS. Az-Zumar: 3)

   

Tujuan utama mereka adalah Allah, tetapi mereka merasa harus mengambil orang-orang saleh (seperti nabi atau wali) sebagai perantara. Inilah yang menjadi penghalang bagi mereka untuk menerima ajakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir ayat tersebut, Allah berfirman:


   إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

   “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang berdusta dan orang yang sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)


 * Mencari Syafaat (Pertolongan): Alasan kedua yang masih berkaitan adalah mereka ingin mendapatkan bantuan dari orang-orang hebat dan dekat dengan Allah. Ini disebutkan dalam Surat Yunus ayat 18 yang telah kita sebutkan. Mereka menyembah selain Allah yang tidak mendatangkan mudarat atau manfaat, tetapi mereka mengklaim bahwa sesembahan tersebut adalah pemberi syafaat atau penolong mereka di sisi Allah.


Dua Kesalahan Fatal Kaum Musyrikin Makkah


Para ulama menjelaskan bahwa dalam keyakinan orang-orang Makkah ini terdapat dua kesalahan fatal:


Pertama, Meyakini Jalan Menuju Allah Harus Melalui Perantara: Mereka meyakini bahwa tidak bisa langsung mengetuk pintu Allah Subhanahu wa Ta’ala atau mengutarakan hajat secara langsung karena merasa diri tidak pantas.


Kedua, Menyamakan Konsep Mendekat kepada Allah dengan Mendekat kepada Makhluk: Mereka menyamakan Allah dengan raja di dunia yang tidak bisa didekati secara langsung kecuali melalui penjaga atau menteri terdekat. Konsep ini keliru karena Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Dekat tanpa perantara.


Ini adalah rahasia mengapa orang Quraisy, yang pada kaidah pertama mengakui ketinggian dan kekuasaan Allah, menolak untuk mengesakan ibadah hanya kepada-Nya. Mereka punya pikiran bahwa Allah tidak sudi memandang langsung kepada mereka, melainkan kepada orang-orang saleh tersebut.


Sejarah Berhala-berhala di Makkah


Beberapa patung di kota Makkah dibuat untuk mengenang orang-orang saleh yang sangat baik dan dermawan. Setiap musim haji sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, ada orang yang membuat hidangan dari gandum untuk para jamaah haji. Untuk mengenang kebaikannya, dibuatlah patungnya (baca: berhala Lata). Mereka berharap orang baik ini akan membantu memediasi doa-doa mereka di dunia dan memberikan syafaat di akhirat.


Memahami Makna Syafaat


Syafaat secara bahasa diambil dari kata syafa' yang berarti menggenapkan. Artinya, seseorang yang dekat dengan raja (misalnya perdana menteri) yang menyampaikan keinginan rakyat, seolah-olah dia menggenapkan bilangan rakyat tersebut untuk bergabung bersamanya.


Syafaat secara syariat adalah:

”الشفاعة هي التوسط للغير لجلب منفعة أو دفع مضرة.”

"Perantaraan bagi orang lain dalam rangka mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan."


Penyalur syafaat pada hakikatnya bukan yang meminta, tetapi hanya menjadi perantara permintaan orang lain.


Pembagian Syafaat dalam Al-Qur'an


Para ulama meneliti ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang syafaat dan menyimpulkan bahwa ada dua jenis syafaat:


Jenis Pertama: Syafaat yang Ditolak (Tidak Sah)

Syafaat menjadi tertolak jika konsepnya meminta kepada makhluk, yang diyakini oleh orang musyrikin Makkah pada saat itu. Mereka menganggap tuhan-sesembahan mereka (yang dulunya orang-orang saleh) mampu memberikan syafaat tanpa perlu izin terlebih dahulu kepada Allah. Ini sama seperti penguasa di dunia yang bisa langsung dihubungi orang terdekatnya. Ini adalah pemahaman yang keliru dan ditolak oleh Allah.


Allah menafikan berlakunya syafaat dalam Surat Al-Baqarah ayat 254:


   ...يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ...

   “...hari (Kiamat) yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat.”

   (QS. Al-Baqarah: 254)


Sebuah syafaat, meskipun dari orang yang luar biasa kedudukannya di sisi Allah, tidak akan berguna dan tidak diterima jika tidak melalui izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Jenis Kedua: Syafaat yang Diterima (Sah)

Syafaat ini terjadi dan diawali dengan meminta izin terlebih dahulu kepada Allah, dan diberikan kepada orang yang berhak dan pantas menerima syafaat tersebut, yaitu orang-orang yang tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala semasa hidupnya.


Contohnya, Allah ingin memuliakan beberapa hamba-Nya, seperti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menyalurkan syafaat di hari kiamat. Jika kita ingin mendapatkan syafaat, kita harus meminta langsung kepada pemilik syafaat, yaitu Allah, bukan kepada penyalurnya.


Syarat-syarat syafaat yang diterima ada tiga:

Pertama, Izin Allah Subhanahu wa Ta’ala: Allah Subhanahu wa Ta’ala harus mengizinkan terjadinya pemberian dan penyaluran syafaat.


Kedua, Rida Allah kepada Pemberi Syafaat: Orang yang memberi atau menyalurkan syafaat haruslah orang yang diridai oleh Allah.


Ketiga, Rida Allah kepada Penerima Syafaat: Orang yang menerima syafaat haruslah orang yang diridai oleh Allah.


Berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, syafaat ini tidak dapat diberikan kepada orang-orang yang meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada Allah, baik kafir maupun musyrik.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


   ”أسعد الناس بشفاعتي يوم القيامة من قال لا إله إلا الله خالصا من قلبه أو نفسه."

   "Orang yang paling beruntung mendapatkan syafaatku pada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ dengan tulus dari hati atau jiwanya.” (HR. Bukhari)


Dalam Surat An-Najm ayat 26, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


   وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَىٰ

   “Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali setelah Allah mengizinkan bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridai.” (QS. An-Najm: 26)


Dan dalam Surat Al-Anbiya ayat 28:


   ...وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَىٰ وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ

   “...dan mereka tidak dapat memberikan syafaat melainkan kepada orang yang telah diridai (Allah), dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya: 28)


Oleh karena itu, jika kita ingin mendapatkan syafaat, pertama kita harus meminta kepada Allah agar kita diperkenankan untuk menerimanya. Kedua, kita harus menjaga diri agar tidak menduakan Allah sampai akhir hayat. Syafaat dapat datang melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, malaikat, orang-orang beriman, atau anak-anak kecil yang meninggal dunia saat masih kecil. 


Intinya, semua berporos pada izin dan rida Allah kepada pemberi dan penerima syafaat.


Enam Jenis Syafaat (Bentuk Syafaat)


Selain pembagian syafaat berdasarkan diterima atau ditolaknya, ada pula pembagian berdasarkan bentuk atau jenisnya. Ada enam bentuk syafaat, tiga di antaranya khusus milik Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tiga lainnya dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta nabi-nabi lain, malaikat, orang saleh, dan anak kecil yang meninggal dunia saat masih kecil.


Tiga syafaat yang khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


Satu, Syafaat Uzma (Syafaat Terbesar):

Syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk penduduk Padang Mahsyar agar hisab segera dimulai oleh Allah.


Pada hari Kiamat, manusia akan berkumpul di Padang Mahsyar yang luas, tanpa naungan, di bawah terik matahari, dengan keringat bercucuran. Mereka menunggu waktu yang tidak jelas, khawatir akan nasib masing-masing.


Dalam keadaan cemas ini, mereka berinisiatif mencari nabi-nabi terdekat dengan Allah untuk memohon agar persidangan segera dimulai. Setelah mendatangi Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa yang semuanya menolak karena merasa tidak berhak, akhirnya mereka datang kepada Nabi Muhammad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjawab, ”أنا لها.” “Aku yang akan melakukannya.”


Ketika Nabi datang menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau tidak langsung meminta. Beliau sujud dan memuji-muji Allah dengan puji-pujian yang indah. Setelah sekian lama memuji, barulah beliau diizinkan untuk mengangkat kepala dan berbicara. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”يا محمد، ارفع رأسك، وسل تعط، واشفع تشفع.” “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah maka engkau akan diberi, dan berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima.” 


Barulah saat itu Nabi meminta agar hisab segera dimulai. Ini menunjukkan betapa adabnya Nabi di hadapan Allah.


Dua, Syafaat untuk Meringankan Siksa Paman Nabi, Abu Thalib:

Syafaat Nabi ini bertujuan untuk meringankan siksa pamannya, Abu Thalib, di neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”لولا شفاعتي، لكان في الدرك الأسفل من النار.” “Kalau bukan karena syafaatku, niscaya ia akan berada di kerak neraka yang paling bawah.”


Karena Abu Thalib meninggal tanpa mengucapkan syahadat, dengan syafaat Nabi, Allah mengizinkan siksanya diringankan menjadi siksa yang paling ringan bagi penghuni neraka, yaitu hanya mengenakan dua sendal besi yang mendidihkan ubun-ubunnya. Ini adalah peringatan bagi kita untuk senantiasa beramal saleh dan bertaubat sebelum kematian datang.


Tiga, Syafaat untuk Membukakan Pintu Surga:

Setelah persidangan dan penimbangan amal selesai, orang-orang beriman akan melewati jembatan Sirat dan sampai di gerbang surga. Pintu surga dijaga oleh malaikat dan tidak akan dibuka kecuali setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan syafaat agar pintu tersebut dibuka.


Malaikat telah ditugaskan untuk tidak membuka pintu surga kecuali pertama kali untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga kita semua termasuk rombongan pertama yang masuk surga. Amin ya Rabbal Alamin.


Tiga syafaat yang dimiliki oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau (malaikat, orang beriman, dan anak kecil yang meninggal dunia saat masih bayi):


Empat, Syafaat untuk Menaikkan Derajat Penghuni Surga:

Syafaat ini diberikan kepada orang-orang yang sudah masuk surga, namun berada di tingkatan terbawah. Nabi atau selain beliau dapat memberikan syafaat untuk mengangkat dan meninggikan tempat mereka di surga ke tingkatan yang lebih tinggi.


Lima, Syafaat untuk Orang yang Seharusnya Masuk Neraka agar Tidak Jadi Masuk:

Syafaat ini diberikan kepada orang-orang yang meninggal dalam keadaan beriman dan tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi seharusnya masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Namun, karena syafaat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau selain beliau, mereka tidak jadi masuk neraka.


Enam, Syafaat untuk Orang yang Sudah Masuk Neraka agar Dikeluarkan:

Syafaat ini diberikan kepada orang-orang yang sudah masuk neraka untuk menjalani siksa, tetapi kemudian dikeluarkan sebelum waktu siksa mereka genap. Ini berlaku bagi mereka yang meninggal dalam keadaan beriman dan tidak menduakan Allah Ta’ala.


Siapa Penghuni Neraka yang Kekal?


Adapun yang menjadi penghuni kekal di dalam neraka adalah tiga golongan:


Orang Kafir dan Murtad: Mereka yang meninggal dalam keadaan kafir kepada Allah atau orang yang sebelumnya beriman kemudian keluar dari iman (murtad).


Orang Munafik (Kemunafikan Besar): Mereka yang secara lahiriah menunjukkan diri sebagai muslim, tetapi di dalam hati menyimpan kekufuran, membenci Islam, dan tidak menginginkan Islam tegak.


 Orang Musyrik (Kesyirikan Besar): Mereka yang menyembah Allah tetapi juga menyembah selain Allah, tidak memurnikan ibadah hanya kepada-Nya.


Akhir kata, semoga Allah senantiasa memberikan kita kemudahan untuk meninggal dalam keadaan beriman dan tidak menduakan Allah.


Pembaca setia Alukatsir.com, semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah semangat kita untuk terus menjaga kemurnian iman dan ibadah hanya kepada Allah, bukan kepada selain-Nya.


Catatan:

Sumber tulisan ini berasal dari kajian yang diselenggarakan di Masjid Salman Al-Farisi, Banjarbaru Kalimantan Selatan


https://www.youtube.com/live/FwO42GQGXkA?si=nPnTVfhVUDAHnwWL



Posting Komentar

0 Komentar