Memahami Syirik dan Ruang Lingkupnya
Disusun oleh Dr. Syadam Husein Alkatiri -waffaqahullah wa ghafaralah-
Pembaca Alukatsir.com yang Allah rahmati, artikel ini merupakan lanjutan penjelasan Kitab Al-Qawa'id Al-Arba' (Empat Kaidah Pokok) karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi rahimahullah.
Kaidah Ketiga: Luasnya Cakupan Kesyirikan yang Dihadapi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Kaidah yang ketiga ini bertujuan untuk menepis anggapan bahwa syirik yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu hanya sebatas menyembah patung berhala. Tidak hanya itu. Penulis dalam kaidah ini ingin menjelaskan dan menerangkan bahwa definisi dan pengertian kemusyrikan tidak hanya sebatas menyembah patung berhala. Bahkan, bentuknya sudah beraneka ragam semenjak Nabi Muhammad diutus ke tengah umat manusia pada saat itu.
Beliau datang dengan bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa beliau menghadapi semua bentuk syirik tanpa membeda-bedakan. Ini untuk menepis asumsi bahwa kemusyrikan hanya berlaku jika seseorang sujud atau menyembelih untuk patung berhala yang ada di hadapannya. Tidak demikian. Cakupan dan dimensi kesyirikan itu sangatlah luas, dan jenis serta ragamnya sangatlah banyak.
Pada kaidah yang ketiga ini, kita akan diajak oleh penulis untuk menyelami bahwa kemusyrikan yang ditanamkan oleh Iblis sudah ada semenjak zaman Nabi Nuh alaihis salam hingga sekarang.
Target Terbesar Iblis Sejak Terusir Dari Surga
Ketika Nabi Adam alaihis salam berada di surga dan Iblis tidak mau tunduk terhadap perintah Allah, kemudian Iblis terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, ditetapkan sebagai makhluk yang tidak akan mendapatkan belas kasih dan rahmat dari Allah, dia sudah meneguhkan hatinya dan merumuskan tujuan terbesar dalam hidupnya: ingin menyesatkan anak keturunan Nabi Adam alaihis salam.
Ini sudah dimulai dengan menyesatkan dan mengelabui Nabi Adam dan pasangannya sehingga mereka terperdaya oleh tipu muslihat Iblis dengan memakan buah dari sebuah pohon yang merupakan satu-satunya larangan pada saat itu sebagai ujian bagi Nabi Adam alaihis salam.
Maka kemudian diturunkanlah Nabi Adam beserta pasangannya, dan diturunkan pula Iblis untuk sama-sama tinggal di muka bumi ini.
Sejak saat itu, Iblis memikirkan cara dan strategi jitu agar anak keturunan Nabi Adam ini terperdaya dan tertipu sehingga terjerumus ke dalam lembah kemusyrikan kepada Allah, karena dia tahu bahwa tempat kembalinya nanti, jika alam semesta ini sudah kiamat dan hancur, tidak lain adalah neraka. Dan di antara amalan yang membuat seseorang dapat kekal di dalam neraka adalah kemusyrikan, yaitu menduakan Allah. Allah sama sekali tidak sudi dan tidak rela makhluk ciptaan-Nya menyekutukan-Nya.
Maka dari zaman dahulu, Allah mengutus para nabi dan para rasul untuk dikirimkan dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, dan dari satu daerah ke daerah lainnya. Allah mengutus banyak sekali rasul utusan-Nya dan nabi yang diwahyukan-Nya untuk mengingatkan umat manusia akan hal ini. Namun, tentu saja ada saja dari tipu muslihat Iblis dan bala tentaranya yang berhasil mencengkeram sebagian dari anak Adam.
Musuh dari Nabi Adam dan anak keturunannya itu sudah punya strategi yang jitu bagaimana bisa memperdaya anak keturunan Nabi Adam alaihis salam ini sehingga tidak sadar terseret dan terjerat ke dalam kubangan kemusyrikan.
Maka, Allah tidak membiarkan begitu saja. Allah mengutus para utusan-Nya, Allah menurunkan kitab-kitab suci-Nya, Allah menugaskan Malaikat Jibril untuk menyampaikan kepada manusia-manusia pilihan agar mengingatkan seluruh umat manusia akan bahaya kemusyrikan dan akan kewajiban utama mereka, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah.
Atau dengan kata lain, mereka harus menghambakan diri hanya kepada Allah. Dan menghambakan diri ini tidak hanya dalam bentuk bersujud seperti yang ada dalam anggapan sebagian orang, bersujud kepada patung berhala, itulah kemusyrikan. Tidak hanya itu. Ini yang coba dipaparkan oleh penulis Kitab Al-Qawa'id Al-Arba'.
Maka, ketika seseorang sudah memahami kaidah pertama dan kedua, kita akan memahami kaidah yang ketiga.
Kaidah Ketiga: Beraneka Ragam Bentuk Penghambaan Diri
"Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada manusia yang satu sama lainnya berbeda dalam penghambaan diri mereka. Di antara mereka ada yang menyembah dan menghambakan diri kepada malaikat, ada yang menghambakan diri kepada para nabi, ada yang menghambakan diri kepada orang-orang saleh, ada yang menghambakan diri kepada pohon dan batu-batuan, ada pula yang menghambakan diri kepada matahari dan bulan. Namun, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi mereka semua tanpa membedakan antara yang satu dengan yang lainnya."
Kaidah ini adalah kaidah terpanjang dibandingkan kaidah-kaidah lainnya.
Dalilnya, kata penulis, adalah firman Allah dalam Surah Al-Anfal ayat 39:
{وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Artinya: "Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan."
Ayat ini menunjukkan bahwa agama ini harus dibangun di atas penghambaan diri yang murni, tanpa ada campuran dalam penghambaan diri itu.
Maka, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi umat manusia di muka bumi ini yang penghambaan dirinya tidak hanya kepada patung berhala atau patung yang terbuat dari kayu dan seterusnya. Tidak hanya di situ. Ada yang memuja-muja seorang nabi, yaitu Nabi Isa alaihis salam; ada yang memuja-muja malaikat; ada yang memuja-muja pohon. Kesemuanya itu tidak semuanya meyakini sesembahan mereka sebagai tuhan-tuhan sejati. Sebagian mereka meyakini ini adalah perantara dengan Tuhan Yang Akbar, kata mereka, Tuhan yang paling kuat dan paling berkuasa, tetapi mereka menganggap harus lewat "tuhan kecil" ini, melalui sesembahan-sesembahan yang ada di muka bumi ini.
Dalil-Dalil Yang Menunjukkan Ragam Bentuk Kesyirikan
Setelah menyebutkan dalil secara umum, penulis di sini mulai memerinci bahwa ada yang menyembah ini ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus ke muka bumi ini, dan ini dalilnya.
Ada yang menyembah matahari, ini dalilnya. Ada yang menyembah malaikat, ini dalilnya. Ada yang menyembah nabi, ini dalilnya. Ada yang menyembah orang saleh, ini dalilnya. Kita akan dipaparkan oleh penulis di sini dalil-dalil dari Al-Qur'anul Karim.
Menyembah Matahari dan Bulan
Baik, kita bacakan dalil bagi mereka yang menyembah atau menghambakan diri kepada matahari dan bulan adalah firman Allah:
QS. Fussilat: 37
{وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ}
Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam dan siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, akan tetapi sujudlah kepada Allah yang menciptakan mereka, jikalau hanya kepada-Nya kalian memang betul-betul menyembah."
Itu dalil menghambakan diri kepada benda-benda langit, bintang-bintang, dan seterusnya.
Menyembah Malaikat dan Nabi
Kemudian disebutkan tentang jenis kemusyrikan di antara umat manusia yang mengagungkan, dan pengagungan tersebut sudah menjurus kepada penghambaan diri, yaitu kata penulis di sini terdapat dalam Surah Ali 'Imran ayat 80:
{وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
Artinya: "Dan tidak wajar pula baginya menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran sesudah kamu menjadi orang Muslim?"
Kemudian kita bacakan dahulu dalil yang menerangkan bahwa ada orang-orang yang menghambakan diri, mengagung-agungkan para nabi utusan Allah hingga itu dikategorikan sebagai menuhankan mereka, terdapat dalam Surah Al-Ma'idah ayat 116. Di sini penulis mengutip:
{وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ ۚ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ}
Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: 'Hai Isa putra Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?'" Isa menjawab: "Maha Suci Engkau. Tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, Engkau ya Allah telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib."
Di sini Allah membuktikan bahwa Nabi Isa alaihis salam sendiri berlepas diri dari orang-orang yang menyanjungnya, mengagungkannya, bahkan menuhankannya. Nabi Isa alaihis salam kemudian ditanya oleh Allah: "Wahai Isa putra Maryam, apakah engkau yang menyuruh orang-orang pengikutmu untuk demikian?" Maka Nabi Isa alaihis salam mengatakan: "Aku tidak berani untuk mengatakan yang demikian, apalagi menyuruh manusia untuk menjadikanku dan ibuku sebagai tuhan-tuhan selain Allah."
Menyembah Orang Saleh
Kemudian dalil yang menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus ke muka bumi, juga ternyata ada orang-orang yang mengagungkan orang-orang saleh di luar para nabi. Ini juga sudah ada, terutama di Jazirah Arab pada saat itu, khususnya di area Makkah.
Di situ sudah terlihat jelas bagaimana patung-patung berhala ini dibuat dan memiliki sejarah di balik setiap patung tersebut. Bahkan disebutkan dalam salah satu riwayat, ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Makkah untuk membebaskan kota Makkah dan membersihkan kota Makkah dari kesyirikan, ketika Nabi masuk Masjidil Haram, tempat itu ada 360 patung berhala. Bahkan di dalam Ka'bah sendiri ada pada saat itu patung-patung, dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memusnahkan atau menghilangkan itu semua dari Masjidil Haram, dari rumah paling istimewa di muka bumi ini.
Ini menunjukkan bahwa sudah ada orang-orang yang menghambakan diri kepada orang-orang yang saleh. Dalilnya adalah firman Allah dalam Surah Al-Isra' ayat 57:
{أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا}
Artinya: "Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dan mereka takut akan azab (siksa)-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu itu adalah suatu yang (harus) ditakuti."
Di sini Allah menegaskan, orang-orang saleh yang orang-orang musyrikin Makkah pada saat itu begitu mengagungkan dan mengharapkan bantuan mereka, nantinya orang-orang saleh itu sendiri semasa hidup mereka mencari cara bagaimana mereka dekat dengan Allah dan mencari cara bagaimana mereka mendapatkan banyak rahmat Allah dan mereka terhindarkan dari siksa Allah. Mereka saja butuh akan amalan-amalan tersebut, maka bagaimana mungkin orang-orang musyrikin Makkah justru bergantung kepada mereka, sementara mereka juga sama-sama menggantungkan harapan mereka kepada Allah.
Menyembah Pohon dan Batu
Kemudian di antara dalil yang menunjukkan bahwa ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, itu ada di antara umat manusia yang menghambakan diri kepada pohon dan batu. Di antaranya adalah firman Allah:
QS. An-Najm: 19-20
{أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ}
{وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ}
Artinya: "Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap patung Al-Lata dan Al-'Uzza, dan Manat yang ketiga?"
Nanti kita akan jelaskan apa itu Lata, apa itu 'Uzza, dan apa itu Manat.
Kisah Dzat Anwat: Ketegasan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Menghadapi Kesyirikan
Kaidah ini ditutup dengan sebuah hadis dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu 'anhu. Hadisnya cukup menarik di sini, di mana disebutkan bahwa salah seorang sahabat yang bernama Abu Waqid Al-Laitsi pada saat itu baru masuk Islam. Dia masuk Islamnya di akhir-akhir, disebutkan setelah pembebasan kota Makkah, pada saat itu terjadi di daerah Hunain. Mereka masuk Islamnya di sekitar tahun itu.
Maka Abu Waqid beserta kawan-kawannya ini mendapatkan kesempatan untuk berjalan di sekitar daerah Hunain tersebut bersama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di sekitar Hunain tersebut ada sebuah pohon besar sekali yang disebut sebagai Dzat Anwat. Maksudnya, pohon ini disebut sebagai pohon Dzat Anwat karena memiliki tali-tali di dahan dan rantingnya, dan tali-tali itu diikatkan dengan benda-benda yang diharapkan mendapatkan keramat dari pohon Dzat Anwat ini.
Jadi, orang-orang musyrikin Makkah tersebut punya satu pohon. Pohon ini biasanya mereka, kalau ingin berperang atau ingin mendapatkan suatu keampuhan, misalkan sebelum berperang, mereka menggantung busur panah mereka, mereka menggantung pedang-pedang andalan mereka. Pedangnya digantung, pedangnya diikat, kemudian digantung di dahan atau ranting dari pohon Dzat Anwat ini. Pohonnya besar, sehingga banyak sekali pedang-pedang orang-orang musyrikin tergantung di pohon itu, didiamkan selama beberapa waktu sebelum digunakan berperang.
Apa tujuan mereka? Mereka meyakini bahwa pohon ini akan memberikan keberkahan, akan memberikan keampuhan kepada pedang-pedang mereka. Pedang-pedang mereka kalau digantung di sini, nantinya ketika digunakan dalam perang, maka pedang ini akan membantu mereka untuk menjatuhkan musuh-musuh dengan lebih kuat.
Maka, diceritakan oleh Abu Waqid, salah satu sahabat yang baru masuk Islam pada saat itu, mereka berjalan bersama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama rombongan yang sama-sama baru masuk Islam. Orang yang baru masuk Islam atau baru mengenal Islam itu masih ada sisa-sisa kebiasaan atau keyakinan-keyakinan sebelum Islam.
Abu Waqid menceritakan bahwa kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam perang Hunain, dan Islam baru dalam dan pada saat itu mereka bersama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, Nabi Muhammad bersama rombongan Abu Waqid ini. Mereka melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik di daerah Hunain itu, dan pohonnya besar. Di situ digantungkan tali-tali yang di ujung tali itu ada pedang-pedang orang-orang musyrikin, didiamkan di situ untuk beberapa waktu dengan harapan pedang itu nanti jadi luar biasa tajamnya dan menunjukkan keajaiban ketika digunakan dalam perang.
Abu Waqid melanjutkan, ketika kami melewati daerah tersebut, sebagian kami ini ingin juga, karena baru masuk Islam. Mereka dulunya juga begitu. Mereka berpikir, bukankah bagus kalau kita orang Islam ini juga punya yang semisal itu? Akhirnya mereka usul, memberanikan diri kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata:
{قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ}
Artinya: "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzat Anwat sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) mempunyai Dzat Anwat."
Tujuan mereka mungkin baik, tetapi caranya itu salah. Sehingga pada saat itu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menegur dengan keras, kata Abu Waqid.
Di antara metode dakwah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau seringkali menggunakan teguran halus, teguran lembut, dan terkadang beliau menggunakan teguran yang keras atau tegas. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kondisi orang yang ditegur.
Sebagai contoh, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan teguran yang sangat lembut. Jika melihat sebuah kejadian yang dilakukan oleh satu orang dan tidak perlu ditegur dengan keras, Nabi menempuh metode yang lembut. Kasus yang pertama adalah ketika ada seorang anak kecil bernama Umar bin Abi Salamah. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para sahabat makan bersama di satu nampan, dan ini kebiasaan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mungkin satu nampan itu bisa lima orang, bisa kurang, bisa lebih.
Pada saat itu ada seorang anak kecil, mungkin sekitar umur 8 tahun ikut makan di nampannya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namanya Umar bin Abi Salamah ini.
Ketika hidangan disediakan, mulailah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama orang-orang itu, termasuk Umar ini, mulai menyantap. Namun anehnya, namanya anak kecil, pada saat itu tangannya itu ke sana kemari. Kalau yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat-sahabat dewasa, mereka makan dari yang terdekat. Nah, Umar ini, dia makannya, dia duduknya di sini, dia mengambil lauk yang di seberangnya, tangannya ke kanan, tangannya ke kiri. Jadi dia ke sana kemari mengambil.
Maka Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menghardik, tidak menegur dengan keras, tetapi beliau mengatakan dengan lembut:
{يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ}
Artinya: "Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (ucapkan bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang terdekat darimu."
Bukti yang lain Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan metode teguran yang sangat pelan, ada seorang Arab Badui. Orang Arab Badui adalah orang Arab yang tinggalnya itu di luar perkotaan. Dia tidak tinggal di kota Madinah.
Pada zaman itu Masjid Nabawi itu dibangun dengan bangunan yang sangat sederhana. Orang Arab Badui ini baru datang dari kampungnya jauh-jauh ke Kota Madinah. Kemudian pada saat itu, seperti kebiasaan orang Arab, dia hendak mengikatkan hewan tunggangannya dan dia melihat di situ ada Masjid Nabawi ini ada di tengah-tengah kota Madinah. Pada saat itu jangan dibayangkan Masjid Nabawi seperti yang sekarang ini dengan keramik dan marmernya. Bentuk bangunannya sederhana, persegi empat dan tiangnya dari pohon kurma, atapnya itu tidak semua dikasih atap, hanya bagian depannya saja. Atapnya itu dari pelepah pohon kurma. Dindingnya dari tanah liat.
Oleh karena itu, ketika orang Arab Badui ini datang, dia mengira Masjid Nabawi itu adalah tempat berteduh. Karena pada saat itu ada namanya seperti semacam saqifah, tempat berkumpul itu biasanya ada atap, kemudian tembok sekedarnya. Dia mengira itu adalah tempat semacam kandang atau tempat berteduh.
Maka dia ikat di situ hewan tunggangannya di dalam Masjid Nabawi. Dia melihat ada orang-orang berkumpul dan dia tidak tahu di situ adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para sahabat.
Tidak berselang lama dia ingin buang air kecil di siti. Akhirnya dia pilih salah satu sudut masjid tersebut. Dan jangan dikira pada saat itu bangunannya lantainya itu bagus. Lantainya itu terbuat dari tanah. Maka dia pikir tidak masalah dia kencing di situ. Akhirnya dia kencing di situ.
Hal itu dilihat oleh sebagian sahabat, akhirnya dia mau dikejar dan ditangkap lalu dikeluarkan. Lantas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat para sahabat sudah mengambil ancang-ancang untuk mengusir orang itu, Nabi justru mengatakan: "Biarkan dia" kata Nabi. "Biarkan dia selesai menyelesaikan kencingnya."
Di sini terdapat kejelian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kenapa? Karena kalau orang itu diburu, bisa saja dia dalam belum keadaan selesai menyelesaikan hajatnya, akhirnya dia refleks untuk mengelak atau melarikan diri, sementara itu air kencing belum selesai sehingga mengotori banyak bagian masjid. Dan itu lebih susah untuk dibersihkan.
Akhirnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh para sahabatnya: "Bawakan seember dan siramkan di situ." Disiram langsung karena itu tanah. Jadi disiram, selesai. Orangnya dipanggil sama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah Nabi marah? Tidak. Nabi menegur dengan teguran yang sangat halus. Nabi mengatakan: "Sesungguhnya tempat ini adalah masjid yang tidak layak untuk demikian. Tempat ini hanya layak untuk beribadah kepada Allah, dari salat, zikir, dan seterusnya."
Baru kemudian orang Arab Badui ini paham. Tetapi dia sudah sakit hati duluan mau ditangkap sama orang-orang. Maka akhirnya dia saking tersentuhnya dengan sikap Nabi kepada dirinya, dia sampai-sampai berdoa:
Doa Arab Badui:
{اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلَا تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا}
Artinya: "Ya Allah, berikan rahmat-Mu, kasih sayang-Mu untukku dan Muhammad saja, dan jangan Engkau kasihani orang-orang itu semua."
Tersenyumlah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari mengoreksi: "Engkau mempersempit rahmat Allah yang luas."
Poinnya di sini adalah orang arab Badui ini begitu tersentuh dengan apa yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai-sampai dia berdoa agar Allah merahmati dirinya bersama Nabi Muhammad saja; ini contoh yang kedua.
Terkadang pula Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan teguran yang keras karena kondisi yang mengharuskan beliau untuk menerapkannya, terutama jika menyangkut hak Allah.
Apa contohnya? Contohnya adalah teguran kepada sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Muadz bin Jabal radhiyallahu Ta'ala 'anhu. Beliau termasuk sahabat yang terkenal dekat dengan Nabi dan memiliki keistimewaan yang luar biasa. Tetapi pada suatu hari, Muadz mengimami salat di perkampungan sukunya.
Muadz bin Jabal memiliki hafalan Al-Quran karena dia dekat dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sudah cukup lama masuk ke dalam Islam. Maka orang-orang dari sukunya ini ikut salat bersamanya. Namun yang dilakukan oleh Muadz pada saat itu, setelah membaca Surat Al-Fatihah, dia membaca Surat Al-Baqarah, sekitar 3 juz atau 286 ayat. Ini termasuk panjang sekali.
Maka pada saat itu ada sebagian makmumnya memilih untuk membatalkan salat karena surat yang dibaca adalah surat terpanjang dan tidak ada tanda imam akan berhenti.
Kebiasaan sahabat yang mulia ini adalah memanjangkan salatnya sembari menikmati ibadah agung ini. Namun ternyata sebagian orang di kampungnya tidak kuat atau mungkin masih lemah imannya. Akhirnya ada yang membatalkan salatnya dan memilih salat sendirian di belakang.
Selesai salat, Muadz bin Jabal diberi tahu bahwa sebagian orang membatalkan salatnya, mereka pilih salat sendiri, kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Sontak beliau berkata: "Besok aku mau mengadu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam perihal orang-orang ini."
Perlu diketahui bahwa pada zaman itu meninggalkan salat berjamaah dianggap indikator sebagai orang munafik. Tetapi ternyata orang-orang ini lebih dulu melapor kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menguraikan duduk masalahnya, yaitu Muadz selaku imam membaca surat yang sangat panjang, Surat Al-Baqarah sehingga mereka tidak kuat.
Nabi pun memanggil Muadz bin Jabal radhiyallahu Ta'ala 'anhu. Kemudian beliau menegurnya dengan teguran yang keras, beliau berkata:
{يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟}
Artinya: "Wahai Muadz, apakah engkau hendak menimbulkan benih fitnah (baca: keburukan)?" (Nabi mengulang tiga kali sambil menunjukkan amarah beliau).
“Kalau engkau sedang imam, bacalah surat-surat yang pendek karena di belakangmu bisa saja ada makmum yang sedang sakit atau punya hajat atau makmum yang tua" tegur Nabi.
Di sini Nabi menegur sahabat yang mulia ini dengan keras, tidak menegurnya dengan lembut karena Nabi sangat paham bahwa iman Muadz tidak akan goyah dengan teguran seperti itu.
Contoh teguran keras yang lain adalah teguran nabi kepada Abu Waqid Al-Laitsi dan kawan-kawannya ketika mereka mengusulkan kepada nabi agar menentukan pohon Dzat Anwat bagi kaum Muslimin sebagaimana orang-orang musyrikin punya pohon keramat.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini tidak menegur dengan halus melainkan menegur mereka secara tegas karena berkaitan dengan hak Allah.
Nabi mengatakan:
{وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ}
Artinya: "Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti jejak dan kebiasaan umat-umat sebelum kalian."
"Yang kalian ucapkan itu persis seperti apa yang diucapkan oleh kaumnya Nabi Musa alaihis salam ketika mereka minta kepada Nabi Musa alaihis salam, "Buatkanlah kami Tuhan sebagaimana orang-orang itu mereka punya Tuhan."
Jadi, kaumnya Nabi Musa pernah minta dibuatkan patung yang merepresentasikan Tuhan yang ada di langit. Maka Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: "Sungguh ini adalah kebiasaan-kebiasaan" kata Nabi memperingatkan Abu Waqid dan sahabat-sahabat yang ada pada saat itu, "Kalian akan mengikuti jejak dan kebiasaan umat-umat sebelum kalian."
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dengan nada keras agar para sahabat yang baru masuk Islam segera menepis pikiran ‘nyeleneh’ yang berpotensi memunculkan benih-benih kesyirikan.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tegas menutup celah tersebut.
Kesimpulan Kaidah Ketiga: Keberagaman Bentuk Kesyirikan dan Larangannya
Kaidah yang ketiga ini berisi penjelasan bahwasanya ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus ke muka bumi oleh Allah sebagai nabi yang terakhir, pada saat itu umat manusia bermacam-macam model penghambaan diri mereka kepada selain Allah.
Ada yang mengultuskan seorang malaikat. Ada yang mengagungkan seorang nabi. Ada yang memuja orang saleh. Ada yang mengagungkan patung. Ada yang mengagungkan matahari atau bulan. Ada yang mengeramatkan bebatuan atau pepohonan.
Dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membedakan antara yang menghambakan diri kepada malaikat atau yang menghambakan diri kepada bebatuan; semua diberantas oleh beliau.
Mana yang lebih masuk akal di sini? Menghambakan diri kepada bebatuan atau menghambakan diri kepada malaikat? Jawabnya adalah lebih masuk akal memuja malaikat karena dia hidup. Sedangkan sebongkah batu tidak hidup, tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong.
Tetapi di sini Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pukul rata semua, semuanya ditegur, semuanya berusaha dihilangkan dan dikikis oleh beliau, tidak dibedakan.
Jika ada yang menyembah malaikat atau menyembah nabi atau menghambakan diri kepada orang saleh, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan "Oh, ini masih mending, biarkan." Tidak. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam ayat ini memerangi mereka semua. Ini menunjukkan bahwa kesyirikan itu beraneka ragam dan harus dijauhi.
Apabila seseorang mengagungkan suatu makhluk melebihi atau mendekati pengagungannya kepada Allah maka hal itu masuk ke dalam kategori menghambakan diri, dan perilaku seperti itu yang ditentang dan diperangi oleh Baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Faedah Seputar Berhala ‘Uzza
Disebutkan bahwa 'Uzza itu bukanlah patung dari batu. 'Uzza adalah sebuah pohon di sebuah lembah. 'Uzza adalah Tuhan sebagian orang-orang musyrikin, ia berupa sebuah pohon. Tapi bukan Dzat Anwat. Kalau Dzat Anwat ini pohon keramat. Tetapi kalau 'Uzza ini dia pohon yang sudah dibentuk dalam bentuk berhala. Nah, ini kemudian disembah. Di situ mereka berdoa, di situ mereka menyajikan sesajian dan seterusnya.
Faedah Seputar Berhala Manat
Manat adalah sebuah patung yang diagungkan oleh suku Aus dan Khazraj di Madinah.
Faedah Seputar Berhala Lata
Lata adalah sebongkah batu besar warnanya putih yang itu sudah dipahat. Lokasinya di daerah Thaif. Dan batu ini dijaga dan dirawat oleh sejumlah penjaga (baca: sadanah atau kuncen).
Disebutkan bahwa asal muasal Lata ini adalah seorang lelaki baik dan dermawan. Semasa hidupnya dia sering membuatkan adonan gandum untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada orang-orang yang Haji pada saat itu, sebelum zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Haji sudah ada sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus karena ini peninggalan ajaran Nabi Ismail alaihis salam dan juga ajaran Bapak beliau yaitu Nabi Ibrahim alaihis salam yang masih dilestarikan oleh bangsa arab. Tetapi tata caranya tidak seperti tata cara di dalam syariat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Catatan:
Sumber tulisan ini berasal dari kajian yang diselenggarakan di Masjid Salman Al-Farisi, Banjarbaru Kalimantan Selatan
https://www.youtube.com/live/2X9xDKACh2k?si=IUyKRg0riCnQAjT5
0 Komentar