Assalamu'alaikum

header ads

Khutbah Hak Nabi Muhammad Atas Kita

Memuliakan Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: Antara Cinta dan Batasan

Oleh Dr. Syadam Husein Alkatiri


Khutbah Pertama:

Allah Ta'ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran: 102)

Ma'asyiral Muslimin -rahimani wa rahimakumullah-,

Kita ketahui bersama bahwa manusia yang paling mulia dan agung di antara kita semua, bahkan di antara seluruh umat manusia dari Nabi Adam hingga manusia terakhir, adalah Nabi kita yang mulia Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Allah  telah menganugerahkan begitu banyak karunia, kedudukan, dan keistimewaan kepada beliau.

Di antara keistimewaan beliau adalah beliau ditunjuk sebagai nabi terakhir di muka bumi. Melalui ajaran yang beliau bawa, Allah menyempurnakan seluruh risalah yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Ajaran ini berlaku sejak pengutusan beliau hingga hari kiamat.

Keistimewaan lainnya, Allah menjadikan agama yang diemban Nabi Muhammad sebagai agama yang berlaku untuk seluruh umat manusia, berbeda dengan agama nabi-nabi sebelumnya yang hanya berlaku untuk kaum mereka saja.

Pemimpin Seluruh Umat Manusia

Tidak hanya itu, Allah juga menjadikan Nabi Muhammad sebagai pemuka para nabi dan pemimpin seluruh umat manusia, terutama di akhirat kelak, di padang Mahsyar. Beliau sendiri bersabda:

 

{أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ}

"Aku adalah pemimpin seluruh umat manusia pada hari kiamat." (HR. Muslim)

Beliau menambahkan, "Dan itu aku ucapkan bukan dalam rangka membanggakan diriku."

Di antara keistimewaan lain yang Allah berikan kepada Nabi kita adalah beliau akan menjadi orang pertama yang diizinkan untuk menyalurkan syafaat. Ini mendahului manusia-manusia lain yang diberi anugerah untuk memberikan syafaat. Kita sebagai umatnya tentu memiliki harapan besar agar Nabi kita tidak melupakan kita dan turut memberikan bagian dari syafaat tersebut pada hari yang sangat dibutuhkan amal saleh dan syafaat, yaitu di padang Mahsyar nanti.


Makna Cinta kepada Rasulullah

Kita selaku umat beliau tentu memiliki kecintaan yang sangat dalam dan besar kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Namun, kecintaan yang kita persembahkan tidaklah sebesar kecintaan para sahabat kepada beliau.

Suatu hari, Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu-, orang terbaik setelah Nabi dan Abu Bakar, datang kepada Nabi dan mengutarakan perasaannya. Ia berkata:

 

{يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلا مِنْ نَفْسِي}

"Ya Rasulullah, Engkau adalah orang yang paling kucintai dari siapapun, kecuali dari diriku sendiri." Ia merasa belum bisa mendahulukan kecintaan kepada Nabi daripada kecintaan kepada dirinya.

Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab:

 

{لَا يَا عُمَرُ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ}

"Tidak, wahai Ibnu Khattab, (imanmu belum sempurna) sampai aku menjadi lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." (HR. Bukhari)

Mendengar itu, Umar segera meralat perkataannya dan berkata:

 

{فَوَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي}

"Demi Allah, saat ini Engkau telah kujadikan orang yang paling kucintai, bahkan dari kecintaanku kepada diriku sendiri."

Dalam hadis lain, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menegaskan kepada seluruh sahabat yang hadir saat itu, beliau bersabda:

 

{لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ}

"Tidaklah sempurna keimanan salah satu di antara kalian sampai ia memprioritaskan kecintaannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, kepada anak-anaknya, dan kepada seluruh manusia." (HR. Bukhari dan Muslim)

Membuktikan Cinta dengan Menunaikan Hak Nabi

Ma'asyiral Muslimin -rahimakumullah-,

Kita sebagai umat Rasulullah tentu ingin membuktikan kecintaan dan keimanan kita kepada beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Pembuktian ini ditempuh dengan cara menunaikan hak-hak beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Di antara hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang wajib kita ketahui dan tunaikan adalah hak beliau untuk tidak diusik dengan perkataan maupun perbuatan yang tidak disukai dan disenangi oleh beliau.

Mari kita simak penuturan salah satu sahabat mulia, Abdullah bin Syikhir -radhiyallahu ‘anhu-. Beliau menuturkan sebuah kejadian yang dialaminya sendiri, yang menggambarkan bagaimana respons Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap perkataan yang awalnya dikira disukai oleh beliau, namun ternyata Nabi menunjukkan sikap dan respons yang berbeda.

Abdullah bin Syikhir menuturkan:

{أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا. فَقَالَ: السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى}

"Aku pernah berkunjung dan mendatangi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama rombongan dari suku Bani Amir. Kemudian kami semua saat itu mengatakan kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, berusaha menunjukkan betapa besar penghormatan kami, maka kami pun serentak memuji beliau dengan pujian: 'Ya Rasulullah, Engkau adalah Sayid kami, Engkau adalah junjungan kami.' Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- langsung menghentikan perkataan mereka dan memotongnya, kemudian beliau membantah dan menyanggah: 'Sesungguhnya junjungan kita semua itu, junjunganku dan junjungan kalian itu semua hanyalah Allah .'" (HR. Abu Dawud, dari hadis Abdullah bin Syikhir)

Kemudian para sahabat, termasuk Abdullah bin Syikhir, meralat dan menggeser pujian tersebut kepada pujian yang lain. Mereka mengatakan, "Ya Rasulullah, Engkau adalah manusia atau orang yang paling mulia di antara kami, Engkau adalah orang yang paling agung di antara kami."

Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kemudian memberikan komentar:

 

{قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ}

"Ucapkanlah yang seperti ini saja, atau ucapkanlah sebagian yang seperti ini saja. Jangan sampai kalian nanti digiring oleh setan sehingga terjerumus ke dalam perkataan yang lebih buruk yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menyukainya."

Di penghujung hadis tersebut, Nabi mengatakan:

 

{إِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ}

"Sesungguhnya aku ini hanyalah hamba-Nya Allah. Maka jika kalian ingin memujiku, katakanlah dan cukup ucapkan dan panggil aku Abdullah, panggil aku dengan sebutan yang Allah menyebutku dengan sebutan ini, yaitu hamba Allah, dan Rasul utusan-Nya." (HR. Abu Dawud)

Menjaga Kemurnian Tauhid

Ma'asyiral Muslimin -rahimakumullah-,

Dari penuturan sahabat ini, dapat kita simpulkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, meskipun memiliki begitu banyak keutamaan dan merupakan manusia paling mulia di sisi Allah, tidak ingin umatnya diperdaya oleh setan dengan perkataan-perkataan yang dapat mengantarkan seseorang kepada pencorengan kemurnian tauhid kepada Allah .

Nabi kita adalah orang yang paling tahu tentang Allah , orang yang paling semangat dalam menjaga keagungan Allah, dan orang yang paling utama dalam mengedepankan etika dan adab kepada Allah. Oleh karena itu, meskipun fakta menunjukkan bahwa Nabi kita adalah pemimpin umat manusia, beliau tidak ingin umatnya, sekalipun berusaha menunjukkan cinta dan iman mereka kepada beliau, digiring dan diperdaya oleh setan.

Ini seperti setan berhasil memperdaya umat Nabi Nuh -‘alaihissalam-, di mana awalnya mereka tidak terjerumus ke dalam kesyirikan besar, hanya berada di pinggir kesyirikan. Namun, setan dengan piawai menggeser sedikit demi sedikit sehingga umat Nabi Nuh benar-benar terperosok ke dalam kubangan kesyirikan. Ini yang dihindari dan diperingatkan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Dalam kesempatan lain, Abdullah bin Abbas -radhiyallahu ‘anhu-ma menuturkan kejadian lain yang menunjukkan kepada kita bahwa Nabi kita tidak suka apabila dirinya disanjung berlebihan atau diberikan pujian yang berlebihan yang dapat menjerumuskan orang yang memujinya kepada penyematan sifat atau perbuatan yang di situ ada unsur penyetaraan atau penyandingan dengan sifat atau perbuatan yang hanya ada pada diri Allah.

Dalam kasus lain, Abdullah bin Abbas menuturkan bahwa seorang lelaki pernah datang menghampiri Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kemudian menyatakan sebagai bentuk rasa cinta dan kagumnya kepada beliau. Dia mengatakan:

 

{مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ}

"Ya Rasulullah, atas kehendak Allah dan kehendakmu."

Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- langsung menegur orang ini. Abdullah bin Abbas pada saat itu ada di tempat itu dan menyaksikan bagaimana Nabi tidak suka hal demikian. Nabi langsung menegur:

 

{أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا؟ بَلْ قُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ}

"Apakah engkau hendak menjadikanku sebagai tandingannya Allah ? Akan tetapi ucapkanlah hanya atas kehendak Allah semata." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani)

Ma'asyiral Muslimin -rahimakumullah-,

Lihatlah bagaimana Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak suka apabila umatnya mendua-kan Allah , sekalipun mendua-kan ini tidak dalam bentuk keseluruhan, hanya pada satu dari sifat atau perbuatan Allah . Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan, "Akan tetapi ucapkanlah hanya atas kehendak Allah semata."

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di sini dengan tegas menegur sahabat beliau yang tentunya tidak memiliki maksud untuk menjadikan Nabi setara dengan Allah. Tidak ada di antara umat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menganggap dan menyetarakan Nabi setara dengan Allah dalam segala sisi, tetapi terkadang tanpa disadari sebagian orang menjadikan Nabi setara dengan Allah pada satu atau dua kasus atau dua perbuatan.

Hal ini dipertegas oleh Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya di kesempatan lain Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berusaha menutup pintu yang dapat menjerumuskan dan menyeret sebagian umat beliau kepada jurang kesyirikan, walaupun itu adalah kesyirikan yang masih kecil, karena kesyirikan yang kecil akan mendorong seseorang untuk melakukan kesyirikan yang lebih besar, dan itu memang target utama dari keberadaan setan di muka bumi ini.

Umar bin Khattab menuturkan bahwasanya Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan:

 

{لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ}

"Janganlah kalian terlalu berlebihan dalam memujiku, dalam menyanjungku, sebagaimana kaum Nasara berlebihan dalam menyanjung putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: 'Hamba Allah dan Rasul-Nya.'" (HR. Bukhari)

Inilah potret dari semangat Nabi kita yang mulia dalam menjaga etika kepada Allah , dalam menjaga kemurnian tauhid agar senantiasa ada dan bening di tengah umat beliau. Beliau tidak ingin dan tidak rela apabila di antara umat beliau ini terjerumus ke dalam jurang kesyirikan lantaran berlebihan dalam memuji beliau, berlebihan dalam arti di situ ada unsur penyetaraan dengan Allah  dalam satu perbuatan atau satu sifat saja. Dan tentunya ini adalah hak beliau yang wajib kita tunaikan, yaitu tidak kita usik Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan perkataan yang tidak disukai oleh beliau atau dengan perbuatan yang dihindari.


Khutbah Kedua:

Hak-hak Nabi Muhammad  yang Wajib Ditaati

Ma'asyiral Muslimin -rahimani wa -rahimakumullah-,

Ada delapan hak yang wajib ditunaikan oleh kita selaku umat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai bagian dari persaksian kita kepada Allah  dan persaksian kita kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam ucapan dua kalimat syahadat:

{أَشْهَدُ أَن لا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ}

"Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku pun bersaksi bahwasanya Baginda Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hamba sekaligus utusan Allah."

1. Hak untuk Diimani sebagai Nabi dan Rasul

Hak Nabi yang pertama yang wajib kita tunaikan adalah hak beliau untuk diimani sebagai seorang nabi dan rasul. Hak ini tidaklah tercapai kecuali dengan empat hal:

 * Tashdiquhu fima akhbar: Percayai seluruh kabar yang datang dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- selama kabar tersebut adalah kabar yang sahih.

 * Ta'atuhu fima amar: Menunaikan dan mengerjakan seluruh perintah yang berasal dari Baginda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

 * Ijtanabu ma naha 'anhu wa zajara: Meninggalkan dan menjauhi seluruh larangan yang datang dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

 * Wala yu'badullaha illa bima syara'a: Tidak beribadah kecuali dengan tuntunan yang diberikan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

2. Hak untuk Diyakini Telah Selesai Menjalankan Tugas

Hak yang kedua yang wajib ditunaikan oleh umat ini kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hak beliau untuk diyakini bahwasanya beliau sudah selesai menjalankan tugas beliau yang diberikan oleh Allah kepada beliau. Kita wajib meyakini dan mengimani bahwasanya Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah selesai secara sempurna menyampaikan amanat kenabian dan ajaran agama Islam kepada umat beliau ini.

Ini yang diminta oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah kesempatan Haji Wada, di mana hal itu dihadiri oleh ratusan ribu para sahabat. Beliau menyampaikan dan meminta persaksian:

{وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا: نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُبُهَا إِلَى النَّاسِ: اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ}

"Kalian akan ditanya oleh Allah tentangku, apa nanti jawaban kalian kepada Allah?" Maka para sahabat menyatakan dengan serentak, "Kami semua bersaksi wahai Rasul bahwasanya Engkau telah menunaikan amanatmu, Engkau telah menjalankan tugasmu, dan Engkau telah menyampaikan risalahmu secara sempurna." Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun merasa bahagia dengan jawaban yang diucapkan oleh sahabat-sahabatnya ini, maka Nabi mengatakan sambil memberikan isyarat ke arah langit dengan jari telunjuknya, "Ya Allah, saksikanlah jawaban umatku. Ya Allah, saksikanlah persaksian dari umatku." (HR. Muslim)

3. Hak untuk Dicintai

Hak Nabi yang ketiga adalah hak beliau untuk dicintai oleh setiap orang dari umat ini, dan kecintaan tersebut haruslah ditaruh dan ditempatkan di tempat yang tertinggi dari kecintaan kita kepada siapapun dari makhluk dan apapun dari harta benda kita. Hal ini sebagaimana riwayat yang disebutkan dari Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu-. Bahkan kecintaan kita kepada seluruh nabi dan seluruh rasul yang ada tetap kecintaan kita kepada Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dikedepankan dan diprioritaskan melebihi kecintaan kita kepada seluruh nabi dan seluruh rasul, apalagi kecintaan kita kepada manusia-manusia yang lain.

4. Hak untuk Dimuliakan dan Dihormati

Hak Nabi yang keempat adalah hak beliau untuk dimuliakan, dihormati, serta dijaga kehormatan beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Para ulama menyebutkan, menjaga kehormatan dan kemuliaan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta menunjukkan sikap memuliakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu berlaku tidak hanya semasa Nabi kita hidup.

Semasa Nabi kita hidup, para sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mereka menunjukkan bagaimana cara memuliakan Nabi yang benar. Mereka, sebagaimana disebutkan, apabila Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berbicara di tengah-tengah para sahabatnya, mereka menyampaikan dan menceritakan bahwasanya seluruh yang hadir, para sahabat yang hadir pada saat itu, kepala-kepala mereka tunduk mendengarkan dengan khidmat apa yang disampaikan oleh Nabi. Sahabat ini mengatakan:

{كَأَنَّ عَلَى رُؤُوسِهِمُ الطَّيْرَ}

"Seakan-akan setiap kepala sahabat yang mendengarkan dan hadir di majelis Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu seperti sedang dihinggapi oleh seekor burung." (HR. Abu Dawud)

Artinya, saking tenangnya mereka dan menunjukkan pengagungan kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Demikian pula dalam kasus yang lain, para sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak berani mengangkat suara ketika memanggil Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan ketika memanggil mereka tidak ada yang memanggil dengan menyebut namanya tetapi dengan sebutan "Ya Rasulullah", "Ya Nabiyallah", dan seterusnya. Ini menunjukkan bagaimana potret praktik memuliakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dicontohkan oleh para sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Para ulama menyebutkan, adapun bagi umatnya yang tidak diberi kesempatan untuk membersamai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- semasa beliau hidup, maka cara untuk memuliakan Nabi adalah dengan menjaga kehormatan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika ada yang mencoba merendahkan beliau di hadapan kita, dan di antara cara untuk memuliakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah dengan memuliakan sunah dan tuntunan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Itulah cara kita memuliakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan menjaga kelestarian sunah beliau yang beliau titipkan dari generasi ke generasi sampai tiba di generasi kita saat ini.

5. Hak untuk Diakui Keutamaan dan Keistimewaan Beliau

Di antara hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang kelima adalah hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk diakui seluruh keutamaan dan keistimewaan yang pernah beliau sampaikan kepada umat ini seperti yang tadi disebutkan.

6. Hak untuk Tidak Diusik

Di antara hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang keenam adalah hak beliau agar kita tidak mengusiknya dengan perkataan ataupun perbuatan yang tidak disukai dan disenangi oleh Baginda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

7. Hak untuk Memuliakan Anak Keturunan dan Sahabat Beliau

Di antara hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang ketujuh adalah hak beliau agar anak keturunan beliau dan juga sahabat-sahabat beliau turut dimuliakan, turut dijaga, dan tidak dihina atau diolok-olok.

8. Hak untuk Diperbanyak Selawat dan Salam

Dan hak yang terakhir adalah hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- agar kita semua selaku umat beliau untuk memperbanyak selawat dan salam kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Karena hakikat dari selawat yang kita ucapkan adalah doa yang kita panjatkan kepada Allah agar Allah semakin menambah karunia, menambah kemuliaan, dan meninggikan kedudukan bagi nabi kita yang mulia, Nabi kita yang kita cintai, yaitu Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Ma'asyiral Muslimin -rahimakumullah-,

{إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. Al-Ahzab: 56)


Semoga bermanfaat.


Catatan:

Tulisan ini berasal dari khutbah yang disampaikan oleh penulis di Masjid Al-Faruq, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.


Link Video:

https://www.youtube.com/live/IHngp5ziCRs?si=FWxOv1Qx_sJz6Iu7

 

Posting Komentar

0 Komentar