Assalamu'alaikum

header ads

Ucapan Yang Dapat Mencederai Tauhid Anda - Seri 2

Pembaca Alukatsir.com yang semoga Allah Ta'ala muliakan, artikel kali ini masih mengangkat bahasan perkataan yang dapat menggerus nilai tauhid seorang hamba.

Jika pada artikel sebelumnya, tiga contoh ucapan yang berbahaya dan jangan sampai terlontar keluar dari lisan kita telah disebutkan beserta dalilnya, artikel kali ini mengangkat tiga contoh lain yang juga perlu diperhatikan betul-betul.


4. Berucap: “…atas kehendak Allah DAN kehendakmu!”


Hal seperti ini dilarang lantaran kata sambung ‘dan’ dalam bahasa arab menunjukkan kesetaraan; artinya pengucapan kalimat seperti ini kurang menunjukkan etika dan adab yang baik terhadap Allah dimana tiada satupun makhluk yang berhak disetarakan denganNya.


Karena pada dasarnya, kehendak Allah berada di atas segala kehendak makhluk. Jika Allah berkehendak pasti terjadi walau seluruh makhluk tidak menghendaki. Sebaliknya, jika Allah tidak menghendaki maka tidak akan terjadi walau seluruh makhluk menghendakinya.


Allah Ta'ala berfirman:


وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ


"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." [QS. At Takwir: 29]


Oleh sebab itu, ketika ada yang berucap kepada Rasulullah “atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasulullah!”,  beliau langsung menegur orang tersebut dan membetulkan kekeliruannya.


عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما أن رجلا قال للنبي ما شاء الله وشِئْتَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : "أَجَعَلْتَنِي وَاللَّهَ عَدلاً، بَلْ مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ."


"Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, "Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi : "Atas kehendak Allah dan kehendak Anda." Maka beliau pun menegur orang itu, "Apakah engkau ingin menjadikanku sejajar dengan Allah? (Ucapkan), hanya atas kehendak Allah saja." [HR. Ibnu Majah no.2177 dan Ahmad no.1839 -redaksi hadis diatas milik beliau-]


Jikapun memang ingin mengutarakan hal ini sebagai kabar mengenai suatu peristiwa, hendaknya menggunakan kata sambung ‘KEMUDIAN’ yang menunjukkan urutan; dan menjauhi kata sambung ‘DAN'. 


Dalam sebuah hadis berbunyi:


"وَلَكِنْ لِيَقُلْ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ"


“Akan tetapi ucapkanlah atas kehendak Allah KEMUDIAN atas kehendakmu.” [HR. Ibnu Majah no.2117]


Syaikh Nasiruddin Al Albani rahimahullah berkata:


فمشيئة الله هي الغالبة ومشيئة عباده هي من مشيئة الله وبعد مشيئة الله تبارك وتعالى

والفرق أن الواو في اللغة العربية تفيد الجمع، إذا قال القائلجاء الملك والوزير، معناه جاؤوا معًا، أما إذا قال القائل جاء الملك ثم الوزير معناهأنالملك جاء متقدمًا، ثم الوزير جاء متأخرًا، لهذا السبب أنكر الرسول


“Kehendak Allah adalah kehendak yang pasti sedangan kehendak hambaNya (yang terjadi) termasuk bagian dari kehendak Allah dan setelah kehendak Allah Ta’ala.

Perbedaannya terletak pada kata ‘dan’ dalam bahasa arab dimana ia menunjukkan penyetaraan. (Contohnya) jika ada yang berkata: raja dan menteri telah tiba, artinya mereka berdua tiba bersamaan. Adapun pengucapan: raja telah tiba kemudian menteri tiba, artinya sang raja tiba terlebih dahulu kemudian disusul kedatangan sang menteri; untuk alasan inilah Rasul  menegur.


Lajnah Daimah (komisi riset ilmiah dan fatwa) di Saudi Arabia yang diketuai oleh Allamah Syaikh Bin Baz rahimahullah menjabarkan bahwa perkataan seperti ini termasuk bentuk syirik kecil dan alasan di balik larangan ini sebagai berikut:


ومن أمثلة الشرك الأصغر أيضاما يجري على ألسنة كثير من المسلمين من قولهمما شاء الله وشئت، ولولا الله وأنت، ونحو ذلك، وقد نهى النبي عن ذلك، وأرشد من قاله إلى أن يقول: «ما شاء الله وحده -أوما شاء الله ثم شئت»؛ سدا لذريعة الشرك الأكبر من اعتقاد شريك لله في إرادة حدوثالكونيات ووقوعها.


Diantara contoh syirik kecil: apa yang sering terucap di lisan kebanyakan orang seperti perkataan mereka: “atas kehendak Allah dan kehendakmu”, “kalaulah bukan karena Allah dan karenamu” dan lain sebagainya. Nabi Muhammad melarang hal ini dan mengarahkan kepada ucapan yang lebih selamat, yaitu “atas kehendak Allah semata” atau “atas kehendak Allah kemudian kehendakmu”.


Hal itu bertujuan untuk menutup rapat pintu yang dapat mengantarkan kepada syirik besar yang berhujung kepada keyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam kehendak/wewenang untuk mewujudkan sesuatu di semesta.

[Fatawa Lajnah Daimah 1/478]



5. Berucap: “Aku bertawakkal kepada Allah DAN kepadamu!”


Berkata seperti ini tidak dibenarkan karena kata sambung ‘dan’ yang mengindikasikan atau mengesankan menyetaraan antara Allah Ta’ala dan makhlukNya; lebih-kurang seperti pembahasan sebelumnya.


Allah Azza wa Jalla berfirman:


وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ


“Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [QS. Al Maidah: 23]


Syaikh Sa’dy rahimahullah menyebut bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban bertawakkal kepada Allah sedangkan kadar tawakkal itu terkait erat dengan seberapa besar dan kuat iman seorang hamba. [Lihat: Tafsir As Sa’dy hal.227]


Komisi Riset Ilmiah & Fatwa yang dikepalai oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah ketika menyebutkan contoh-contoh syirik kecil, mereka menyertakan bahasan ini dan mengategorikannya bagian dari syirik tersebut:


"وفي معنى ذلك قولهمتوكلت على الله وعليك."


"Dan yang semisal dengan itu (syirik kecil) ialah ucapan orang-orang: “Aku bertawakkal kepada Allah DAN kepadamu.” [Fatawa Lajnah Daimah 1/478]


Namun berbeda dengan bahasan sebelumnya, apakah boleh berkata dengan ungkapan: “Aku bertawakkal kepada Allah KEMUDIAN kepadamu?” Jawabnya, ada silang pendapat di kalangan ulama mengenai hukum perkataan ini, ada yang membolehkan, adapula yang melarangnya.


Diantara yang menganggap hal ini boleh adalah Syaikh Abdullah Al Ghunaiman hafidzahullah dalam Syarah Fathu Al Majid, beliau berkata:


يجوز في الشيء الذي يجوز، أما في الشيء الذي لا يجوز فلا، يعنييجوز في الوكالة الجائزة، كأن يشتري له شيئًا يستطيعه أو يعمل له عملًايستطيعه، فهذا يجوز أن يقول له: (توكلت على الله ثم عليكأيفي هذا الشيء الذي يستطيعه ويقدر عليه، أما في الأمور التي لا يستطيعها فلايجوز، حتى ولو قال: (ثم)، ولا يفيده ذلك.


Boleh untuk yang hukumnya mubah. Adapun untuk hal yang dilarang maka tidak boleh. Maksudnya (perkataan tersebut) boleh untuk mewakilkan hal yang bersifat boleh seperti untuk membelikannya sesuatu yang dimampuinya atau melakukan perkerjaan yang disanggupinya untuk orang yang mewakilkannya tadi.


Hal yang demikian itu boleh baginya berkata: “Aku bertawakkal kepada Allah KEMUDIAN kepadamu” untuk melakukan sesuatu yang masih di batas kesenggupannya. Adapun untuk mengerjakan hal yang di luar kemampuannya (sebagai manusia, Pent) maka hal itu tidak berguna sekalipun menggunakan lafaz “KEMUDIAN”.


Adapun pendapat yang melarang pengucapan kalimat seperti ini diantara ulama yang berpendapat demikian ialah Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi dan Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahumallah.


Ketika ditanya hukum berucap dengan ucapan ini Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi berpendapat:


هذا لا ينبغي، فالتوكل خاص بالله، والتوكل لا يكون إلا على الله، فهذا من الشرك الأصغر؛ لأن التوكل على غير الله إن كان توكلًا على حي قادر حاضرفهو شرك أصغر، وإن توكل على ميت أو غائب فهذا شرك أكبر.


"Hal ini tidak diperkenankan. Tawakkal itu adalah kekhususan Allah. Dan tawakkal tidak boleh kecuali kepada Allah. (Ucapan) ini tergolong syirik kecil karena tawakkal kepada selain Allah meskipun bertawakkal kepada orang hidup, mampu, dan hadir, itu syirik kecil. Adapun bertawakkal kepada orang meninggal atau orang yang posisinya jauh maka ini syirik besar." [Fatawa Munawwaah versi Maktabah Syamilah 25/12]


Syaikh Shalih Alu Syaikh sendiri menilai larangan dalam hal ini mencakup pemakaian kata sambung 'dan' maupun 'kemudian', beliau berkata:


لا يجوز أن يقولتوكلت على الله ثم عليك؛ لأن المخلوق ليس له نصيب من التوكل، فإن التوكل إنما هو تفويض الأمر والالتجاء بالقلب إلى من بيده الأمروهو اللهجل وعلا-، والمخلوق لا يستحق شيئا من ذلك.


"Tidak boleh berkata: aku bertawakkal kepada Allah kemudian kepadamu karena makhluk tidak punya secuil hak dari tawakkal. Sesungguhnya tawakkal itu artinya memasrahkan urusan dan menyandarkan hati kepada siapa yang ditangannya segala perkara, yaitu Allah Jalla wa Ala; sedangkan makhluk tidak layak untuk menempati sedikitpun dari hal itu."


Beliau lantas melanjutkan:


فالتوكل على المخلوق فيما يقدر عليه شرك خفي ونوع شرك أصغر، والتوكل على المخلوق فيما لا يقدر عليه المخلوق، وهذا يكثر عند عباد القبوروالمتوجهين إلى الأولياء والموتى، هو شرك يخرج من الملة.



Tawakkal kepada makhluk dalam perkara yang dimampuinya adalah syirik khafy dan salah satu bentuk syirik kecil. Adapun tawakkal kepada makhluk dalam perkara yang tidak dimampuinya merupakan syirik yang dapat mengeluarkan pelakunya dari millah dan hal ini banyak terjadi di kalangan penyembah kubur dan orang yang bersandar kuat kepada para wali dan orang yang sudah wafat.


Beliau juga menerangkan alasan di balik larangan berkata seperti ini:


وحقيقة التوكل الذي ذكرناه لا يصلح إلا للهجل وعلا-؛ لأنه تفويض الأمر إلى من بيده الأمر والمخلوق ليس بيده الأمر، فالتجاء القلب ورغب القلبوطمع القلب في تحصيل المطلوب إنما يكون ذلك ممن يملكه وهو الله - جل وعلا-، أما المخلوق فلا يقدر على شيء استقلالا وإنما هو سبب، فإذا كانسببا فإنه لا يجوز التوكل عليه؛ لأن التوكل عمل القلب وإنما يجعله سببا بأن يجعله شفيعا، أو واسطة، ونحو ذلك، فهذا لا يعني أنه متوكل عليه، فيجعلالمخلوق سببا فيما أقدره الله عليه ولكن يفوض أمر النفع بهذا السبب إلى اللهجل وعلا-، فيتوكل على الله ويأتي بالسبب الذي هو الانتفاع من هذاالمخلوق بما جعل اللهجل وعلاله من الانتفاع أو من القدرة ونحو ذلك.


Dan hakikat tawakkal yang tidak pantas disematkan kecuali pada Allah ialah karena disitu ada sikap memasrahkan perkara sepenuhnya kepada siapa yang di tangannya kendali sedangkan makhluk tidak punya kendali. Oleh sebab itu, menambatkan hati dan menaruh harapan kuat guna terwujudnya suatu keinginan itu hanya diserahkan kepada siapa yang punya kendali (mutlak) yaitu Allah.


Adapun makhluk maka ia tidak punya kendali sedikitpun secara mandiri, melainkan posisinya disini sebagai sebab. Jika demikian, ia tidak boleh dijadikan tumpuan bertawakkal karena tawakkal sendiri adalah amalan hati. Ia dapat dijadikan sebab seperti pemberi syafaat atau perantara atau semisalnya namun bukan berarti ia jadi tumpuan tawakkal kita.


Makhluk dapat dijadikan sebab dalam perkara yang Allah memberinya kemampuan akan tetapi perkara keberhasilannya melalui sebab ini dipasrahkan kepada Allah. Jadi, kita bertawakkal kepada Allah dan menempuh sebab yang mana bentuknya adalah mengambil manfaat dari makhluk tadi dalam perkara yang Allah memang memberikannya kemampuan dan manfaat. [At Tamhid hal.376]


Menurut penulis, silang pendapat diantara ulama diatas bermuara pada penggunaan lafaz tawakkal dan makna yang terkandung di dalamnya. Ulama yang melarang kata sambung 'kemudian' menilai lafaz tawakkal adalah lafaz syari yang punya makna khusus dan tidak ditujukan kecuali kepada Allah.


Adapun ulama yang memperbolehkannya sepertinya melihat kepada makna wakalah (mewakilkan suatu perkara kepada orang lain) dimana itu diperbolehkan dalam syariat.


Pendapat yang lebih kuat -menurut penulis- adalah pendapat yang melarang karena penggunaan kata tawakkal di dalam syariat dikhususkan kepada Allah. Lafaz tawakkal berbeda dimensi atau bisa dikatakan diatas level wakalah yang memang dibolehkan secara syariat. Oleh karenanya, penggunaan kata 'tawakkal' sendiri tidak diseret kepada makna wakalah, wallahu a'lam.




6. Berlindung kepada Jin atau penunggu tempat angker atau arwah yang telah meninggal.


Seperti orang yang melewati area pekuburan atau tempat yang dianggap 'angker' atau hutan belantara kemudian saking takutnya ia berucap: "Permisi mbah (baca: jin penunggu), minta perlindungannya dari segala gangguan disini" atau "Syaikh fulan (baik yang telah wafat ataupun yang masih hidup namun posisinya jauh), mohon jaga kami dari marabahaya selama disini." dan ucapan semisal.


Hal seperti ini terlarang dan menodai kemurnian tauhid yang tengah dibangun oleh seorang hamba karena meminta perlindungan dengan bentuk seperti diatas adalah bagian dari ibadah, dan ibadah mesti dimurnikan hanya untuk Allah semata.


Kasus manusia meminta perlindungan kepada jin seperti ini telah disebut secara jelas di dalam Al Quran dimana Allah berfirman:


وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٞ مِّنَ ٱلۡإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٖ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَزَادُوهُمۡ رَهَقٗا


"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan." QS. Al Jin: 6


Imam Abu Mudzaffar As Sam'ani rahimahullah membawakan cerita menarik di balik tafsir ayat ini:


في التفسيرأن الرجل كان يسافر والقوم كانوا يسافرون، فإذا بلغوا مكانا قفرا من البرية وأمسوا قالوانعوذ بسيد هذا الوادي من سفهاء قومه.

وحكى عن بعضهم أنه قالانطلقت مع أبي في سفر ومعنا قطعة من الغنم، فنزلنا واديا قالفجاء ذئب وأخذ حَملا من الغنم، فقام أبي وقاليا عامرالوادي، نحن في جوارك، فحين قال ذلك أرسل الذئب الحمل، فرجع الحمل إلى الغنم فلم تصبه كدمة.


"Disebutkan perihal tafsirannya: ada seseorang yang bersafar bersama beberapa orang, apabila mereka berhenti di suatu tempat yang sunyi dari padang belantara dan hari mulai gelap mereka berdoa: kami memohon perlindungan kepada pembesar (baca: jin) penunggu lembah ini dari gangguan jin-jin bawahannya.


Dan dikisahkan dari sebagian orang (arab di masa jahiliyah) bahwa ada yang bercerita: aku berangkat bersama ayahku untuk suatu perjalanan jauh dan kami membawa beberapa ekor daging domba. Kami berdua akhirnya sampai di suatu lembah kemudian seekor serigala menyergap dan menyeret seekor anak domba. Ayahku sontak berteriak: Wahai penunggu lembah, kami minta perlindunganmu. Sesaat setelah itu, si serigala langsung melepas anak domba tadi dan ia kembali kepada induknya tanpa terkena luka gigitan." [Tafsir As Sam'ani 6/65]


Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan mengenai tafsir ayat ini:


 إذا نزلوا واديا أو مكانا موحشا من البراري وغيرها كما كان عادة العرب في جاهليتهايعوذون بعظيم ذلك المكان من الجان، أن يصيبهم بشيءيسوؤهم كما كان أحدهم يدخل بلاد أعدائه في جوار رجل كبير وذمامه وخفارته، فلما رأت الجن أن الإنس يعوذون بهم من خوفهم منهم، ﴿فزادوهمرهقا﴾ أيخوفا وإرهابا وذعرا، حتى تبقوا أشد منهم مخافة وأكثر تعوذا بهم


"(Ada sekelompok orang) jika mereka singgah di suatu lembah atau tempat angker ataupun selainnya -sebagaimana kebiasan bangsa arab di zaman jahiliyah- mereka segera meminta perlindungan kepada jin penguasa tempat itu agar tidak mengganggu mereka layaknya seseorang yang memasuki daerah musuhnya kemudian minta perlindungan dan jaminan dari tokoh atau pembesarnya.


Tatkala jin menyadari bahwa manusia justru meminta perlindungan kepada mereka lantaran takut (kepadanya), maka jin tadi semakin terdorong untuk menambahi rasa takut yang sudah ada agar mereka (manusia) semakin takut terhadapnya dan semakin sering minta perlindungannya." [Tafsir Ibn Katsir 8/239]


Beliau juga menyebut tafsiran lain dari (فزادوهم رهقا) yaitu: jin semakin pongah dan besar kepala. [Tafsir Ibn Katsir 8/239]


Setelah diutus, Rasulullah  menghapus model ucapan seperti ini dan mengarahkan kepada ucapan terbaik untuk kasus seseorang yang ingin mendapat perlindungan ketika berada di tempat sunyi atau angker, beliau bersabda: 


مَن نزَل مَنْزِلًا فقالأعوذ بكلمات الله التَّامَّات من شرِّ ما خلَق، لم يَضُرَّه شيءٌ حتى يَرْحَلَ مِن مَنْزِله ذلك


"Siapa yang singgah di suatu tempat lalu berdoa: 'A'ūżu bi kalimātillāhit-tāmmāti min syarri mā khalaq (Aku berlindung dengan kalam Allah yang sempurna dari kejahatan semua mahluk yang Dia ciptakan)', maka tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakan dirinya sampai dia beranjak dari tempatnya itu." [HR. Muslim no.2708]


Jika memperhatikan kandungan Al Quran, kita akan dapati perintah Allah agar kita meminta perlindungan hanya kepadaNya. Contohnya:


قُلْ أعُوذُ بِرَبِّ النّاسِ


"Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan seluruh manusia." [QS. An Nas: 1]


وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah590. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS. Al A'raf: 200]


Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah berkata:


فَعُلِمَ من التنصيص على المستعاذ به وهو الله - جل وعلا - أن الاستعاذة حصلت بالله، وبغيره وأن الله أمر نبيه أن تكون استعاذته به وحده دون ماسواهوأن الاستعاذة عبادة، وإذا كانت عبادة فتدخل فيما دلت عليه الآيات من إفراد العبادة بالله وحده.


Didapati dari nash (perintah berlindung kepada Allah, pent) bahwa yang dimintai perlindungan ialah Allah Jalla wa Ala, dan dapat disimpulkan pula bahwa meminta pertolongan itu bisa saja dilakukan kepada Allah dan kepada selainNya namun Allah menyuruh NabiNya untuk memurnikan hal itu hanya kepadaNya semata, tidak boleh kepada selainNya. Dan itiadzah (meminta perlindungan) itu ibadah. Jika telah menjadi bagian ibadah, ia termasuk dari apa disuratkan dalam ayat-ayat Al Quran yaitu kewajiban memurnikan ibadah hanya untuk Allah. [At Tamhid hal.172] 


Lantas apakah tidak boleh meminta perlindungan kepada manusia? Jawabnya boleh dengan syarat, yaitu orangnya masih hidup, mendengar atau tidak berada jauh, dan dalam perkara yang disanggupinya. Dan perlu diingat juga bahwa istiadzah itu terdiri dari dua sisi, sisi pertama ialah sisi zahir dimana ada ucapan permintaan untuk dilindungi atau diberi jaminan keselamatan, sisi kedua ialah sisi batin dimana ada ketergantungan hati dan kepasrahan diri kepada yang dimintai perlindungan. Pembolehan untuk meminta perlindungan dengan syarat diatas erat hubungannya dengan sisi zahir saja tanpa disertai sisi batinnya. Jika sudah tercampur antara keduanya maka ini mengarah kepada syirik yang disepakati keharamannya oleh para ulama. [Lihat: At Tamhid hal.169-170]


Jadi, alih-alih berucap ucapan yang bisa mencederai tauhid saat berada di tempat yang dianggap sebagian orang 'angker' atau di tempat apa saja, lebih baik kita mengucapkan ucapan yang jelas merupakan perintah Allah dan ajaran Rasulullah yang mana ucapan itu akan mengantarkan kita kepada perlindungan yang pasti dari Allah dan berbuah pahala lagi ridhaNya.


 Imam Qurtubi rahimahullah menceritakan pengalamannya terkait bahasan ini, beliau bertutur: "Aku betul-betul membuktikan hal itu hingga pada satu hari aku lupa membacanya kemudian aku memasuki rumahku dalam keadaan belum membaca (doa minta perlindungan Allah) dan akhirnya aku tersengat kelajengking. [Lihat: Al Qaul Al Mufid karya Ibnu Utsaimin 1/254]


Demikian artikel kali ini, semoga bermanfaat untuk penulis dan pembaca Alukatsir.com.


Kota Madinah, 24 Muharram 1443 H

Syadam Husein Alkatiri


#alukatsir  


Posting Komentar

0 Komentar